BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٧٣
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”
Setelah Allah Ta’ala menganugerahkan rezeki-Nya kepada mereka dan membimbing mereka agar memakan makanan yang baik-baik, Allah Ta’ala juga memberitahukan bahwa Dia tidak mengharamkan makanan-makanan itu kecuali bangkai saja, yaitu binatang yang mati dengan sendirinya, tanpa disembelih. Selain itu, Allah Ta’al juga mengharamkan daging babi, baik yang disembelih maupun yang mati dengan sendirinya. Lemak babi termasuk dalam hukum dagingnya, karena secara generalisasi, atau karena dagingnya mengandung lemak, atau melalui cara qiyas (analogi) menurut suatu pendapat. Allah Ta’ala juga mengharamkan kepada mereka binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain nama Allah Ta’ala, baik itu dengan mengatasnamakan berhala, sekutu, tandingan dan lain sebagainya, yang dahulu menjadi kebiasaan orang-orang Jahiliyah untuk mempersembahkan korban kepadanya.
Al-Qurthubi meriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anaa, bahwa beliau (Aisyah) pernah ditanya mengenai hewan yang disembelih oleh masyarakat non-Arab untuk perayaan mereka, kemudian mereka menghadiahkan sebagian dari dagingnya itu kepada kaum Muslimin. Maka Aisyah pun menjawab, “Apa yang mereka sembelih pada hari itu, maka janganlah kalian memakannya, tetapi kalian boleh memakan buah-buahannya.”
Firman-Nya (فمن اضطر غير باغ ولا عاد), yaitu karena memakan makanan haram yang disebut sebelumnya. Allah Ta’ala membolehkan hal tersebut dalam keadaan darurat dan sangat mendesak ketika tidak ada makanan lainnya. Menurut Mujahid, “Artinya tidak dalam keadaan merampok, atau keluar dari ketaatan imam atau bepergian dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, maka ia mendapatkan keringanan. Tetapi orang yang melampaui batas atau melanggar, atau dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, maka tidak ada keringanan baginya, meskipun ia berada dalam keadaan terpaksa.” Hal yang sama juga diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair. Dan diperbolehkan membawanya sebagai bekal yang dapat menghantarkannya kepada makanan halal, dan jika telah ditemukan makanan yang halal, hendaknya bekal itu dibuang.
Firman-Nya (ولا عاد), artinya dalam mengkonsumsinya melebihi makanan yang halal. Sedangkan dari Ibnu Abbas diriwayatkan, artinya tidak sampai kenyang memakannya. Tetapi As-Suddi menafsirkannya dengan melanggar (batas).
PERMASALAHAN:
Jika ada seseorang yang benar-benar dalam kedaan terpaksa menemukan bangkai dan makanan milik orang lain, yang tidak dapat dipastikan pemiliknya dan tidak membahayakan maka tidak dihalalkan baginya untuk memakan bangkai. Tetapi ia boleh memakan makanan milik orang lain tersebut. Dan tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Yang jadi masalah adalah, apakah dengan memakan makanan orang lain itu ia bertanggungjawab atau tidak?
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat, keduanya diriwayatkan dari Imam Malik, kemudian disebutkan hadis dari Sunan Ibnu Majah, yang diriwayatkan dari Syu’bah, dari Abu Iyyas Ja’far bin Abi Wahsyiyah, katanya, aku pernah mendengar Abbad bin Syurahil al-Anzi, berkata:
أَصَابَتْنَا عَامًا مَخْمَصَةٌ، فَأَتَيْتُ الْمَدِينَةَ . فَأَتَيْتُ حَائِطًا، فَأَخَذْتُ سُنْبُلًا فَفَرَكْتُهُ وَأَكَلْتُهُ، وَجَعَلْتُ مِنْهُ فِي كِسَائِي، فَجَاءَ صَاحِبُ الْحَائِطِ فَضَرَبَنِي وَأَخَذَ ثَوْبِي، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ لِلرَّجُلِ: "مَا أَطْعَمْتَهُ إِذْ كَانَ جَائِعًا أَوْ سَاعِيًا، وَلَا عَلَّمْتَهُ إِذْ كَانَ جَاهِلَا". فَأَمَرَهُ فَرَدَّ إِلَيْهِ ثَوْبَهُ، وَأَمَرَ لَهُ بِوَسْقٍ مِنْ طَعَامٍ أَوْ نِصْفِ وَسْقٍ“
Artinya: “Kami pernah ditimpa kelaparan setahun penuh. Lalu aku datang ke Madinah, maka aku pun memasuki sebuah kebun dan mengambil beberapa tangkai tanaman, kemudian aku menggosok-gosokkannya dan setelah itu memakannya. Dan beberapa tangkai lagi aku letakkan di dalam bajuku. Lalu pemilik kebun itu datang memukulku serta mengambil bajuku. Selanjutnya aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberitahukan hal itu kepadanya.” Beliau pun bersabda kepada pemilik kebun itu: “Tidakkah engkau memberinya makan jika ia dalam keadaan lapar atau berusaha mencari makanan, dan tidaklah engkau ajarkan kepadanya jika ia tidak tahu.” Beliau pun memerintahkan agar baju itu dikembalikan kepadanya dan memerintahkan agar ia diberi satu atau setengah wasag makanan.” (HR. Ibnu Majah: 2298. Hadits di atas berisnad shahih, kuat dan jayyid serta memiliki banyak syahid)
Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Rasulullah ditanya mengenai mengambil buah yang masih tergantung di pohon, maka beliau bersabda:
"مَنْ أَصَابَ مِنْهُ مِنْ ذِي حَاجَةٍ بِفِيهِ غَيْرَ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ"
Artinya: “Barangsiapa mengambil sesuatu darinya karena keperluan mendesak untuk dimakan langsung dengan tidak membawa kantong (untuk menaruhnya), maka tiada dosa baginya.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Imam Ahmad dengan sanad shahih)
Firman-Nya (فلا إثم عليه إن الله غفور رحيم), Muqatil bin Hayyan mengatakan, “Yaitu atas makanan yang dimakannya dalam keadaan terpaksa.” Sa’id bin Jubair mengemukakan, “Allah Ta’ala Mahapengampun atas makanan haram yang dimakan oleh orang itu, dan Dia Mahapenyayang karena Dia telah membolehkan baginya memakan makanan yang haram dalam keadaan terpaksa.” Sedangkan Waqi’ menceritakan, al-A’masy memberitahu kami, dari Abu Dhuha dari Masruq ia berkata, “Barangsiapa benar-benar dalam keadaan terpaksa, namun ia tidak makan dan tidak minum lalu ia meninggal dunia, maka ia masuk neraka. Ini menunjukkan bahwa memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan terpaksa merupakan azimah (keharusan) dan bukan sekedar rukshah (keringanan). Abu Hasan Ath-Thabari yang terkenal dengan sebutan Al-Kiya Al-Harasi mengatakan, “Inilah pendapat yang benar menurut pendapat kami, seperti berbuka puasa bagi orang yang sakit dan semisalnya.”
Komentar
Posting Komentar