BISMILLAHIRROHMANIRROHIM
وَكَذَٰلِكَ
جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ
ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ وَمَا جَعَلۡنَا ٱلۡقِبۡلَةَ ٱلَّتِي كُنتَ
عَلَيۡهَآ إِلَّا لِنَعۡلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ
عَقِبَيۡهِۚ وَإِن كَانَتۡ لَكَبِيرَةً
إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ
إِيمَٰنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ ١٤٣
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
Firman-Nya (وكذلك جعلناكم أمة وسطا ... ويكون الرسول عليكم شهيدا) melalui ayat ini, Allah Ta’ala mengatakan, “Sesungguhnya Kami mengubah kiblat kalian ke kiblat Ibrahim dan Kami pilih kiblat itu untuk kalian agar Kami dapat menjadikan kalian sebagai umat pilihan, agar pada hari kiamat kelak kalian menjadi saksi atas umat-umat yang lain, karena semua umat mengakui keutamaan kalian.”
Dan yang dimaksud dengan kata ‘wasath’ di sini adalah pilihan yang terbaik. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa orang Quraisy adalah orang Arab pilihan, baik dalam nasab maupun tempat tinggal. Artinya, yang terbaik. Dan sebagaimana dikatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wasathan fi qaumihi”, yang berarti beliau adalah orang yang terbaik dan termulia nasabnya. Misalnya lagi, kalimat ‘salat wustha’ yang merupakan salat terbaik, yaitu salat Ashar, sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab Sahih dan kitab-kitab hadis lainnya. Ketika Allah Ta’ala menjadikan umat ini sebagai ‘umatan wasathan’, maka Dia memberikan kekhususan kepadanya dengan syariat yang paling sempurna, jalan yang paling lurus dan paham yang paling jelas. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Hajj ayat 78 yang artinya: “Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” Dan dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"يُدْعَى
نُوحٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُقَالُ لَهُ: هَلْ بلَّغت؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ.
فَيُدْعَى قَوْمُهُ فَيُقَالُ لَهُمْ: هَلْ بَلَّغَكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: مَا
أَتَانَا مِنْ نَذِيرٍ وَمَا أَتَانَا مِنْ أَحَدٍ، فَيُقَالُ لِنُوحٍ: مَنْ يَشْهَدُ
لَكَ؟ فَيَقُولُ: مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ" قَالَ: فَذَلِكَ قَوْلُهُ:
{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا} .قَالَ: الْوَسَطُ : الْعَدْلُ،
فَتُدْعَوْنَ، فَتَشْهَدُونَ لَهُ بِالْبَلَاغِ، ثُمَّ أَشْهَدُ عَلَيْكُمْ .
Artinya: “Nabi Nuh kelak dipanggil di hari kiamat, maka ditanyakan kepadanya, "Apakah engkau telah menyampaikan (risalahmu)?" Nuh menjawab, "Ya." Lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan kepada mereka, "Apakah dia telah menyampaikannya kepada kalian?" Maka mereka menjawab, "Kami tidak kedatangan seorang pemberi peringatan pun dan tidak ada seorang pun yang datang kepada kami." Lalu ditanyakan kepada Nuh, "Siapakah yang bersaksi untukmu?" Nuh menjawab, "Muhammad dan umatnya." Abu Sa'id mengatakan bahwa yang demikian itu adalah firmanNya, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil" (Al-Baqarah: 143), al-wasat artinya adil. Kemudian kalian dipanggil dan kalian mengemukakan persaksian untuk Nabi Nuh, bahwa dia telah menyampaikan (nya) kepada umatnya, dan dia pun memberikan kesaksiannya pula terhadap kalian.” (HR. Al-Bukhari: 3339/4487, Ahmad: 3/32, At-Tirmidzi: 2961, An-Nasai: 1007, dan Ibnu Majah: 4284)
Imam Ahmad juga meriwayatkan, dari Abu As-Aswad, katanya, “Aku pernah datang di Madinah dan di sana sedang terjangkit penyakit yang menyerang banyak orang, dan korban pun berjatuhan dengan cepat. Lalu aku duduk di dekat Umar bin Al-Khaththab, kemudian ada jenazah yang lewat, lalu jenazah itu dipuji dengan kebaikan. Umar berkata, “Pasti.” Kemudian Umar melewati jenazah yang lain, dan jenazah itu disebutkan dengan keburukan. Lalu Umar berkata, “Pasti.” Setelah itu Abu As-Aswad bertanya kepada Umar bin Al-Khaththab, “Ya Amirul Mukminin, apa yang pasti itu?” Umar menjawab, aku mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
"أَيُّمَا
مُسْلِمٍ شَهِد لَهُ أَرْبَعَةٌ بِخَيْرٍ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ" .
قَالَ: فَقُلْنَا. وَثَلَاثَةٌ؟ قَالَ: "وَثَلَاثَةٌ". قَالَ،
فَقُلْنَا: وَاثْنَانِ؟ قَالَ: "وَاثْنَانِ" ثُمَّ لَمْ نَسْأَلْهُ عَنِ
الْوَاحِدِ.
Artinya: “Orang Muslim mana pun yang diberikan kesaksian oleh empat orang bahwa ia baik, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga.” Kami bertanya, “Juga tiga orang?” Beliau menjawab, “Ya, meski hanya tiga orang.” Kami pun bertanya, lanjut Umar, “Juga dua orang?” Beliau pun menjawab, “Ya, termasuk dua orang.” Masih lanjut Umar, “Dan kemudian kami tidak menanyakan tentang satu orang.” (HR. Ahmad: 1/22, Al-Bukhari: 1368, At-Tirmidzi: 1059, dan An-Nasai: 4/50)
Firman-Nya (وما جعلنا القبلة ... إلا على الذين هدى الله) artinya, Allah Ta’ala menyampaikan, hai Muhammad, pertama kali Kami mensyariatkan kepadamu untuk menghadap Baitul Maqdis, lalu Kami palingkan engkau darinya menuju ke Ka’bah, agar tampak jelas siapa-siapa orang yang mengikuti dan menaatimu serta menghadap ke arah mana saja engkau menghadap, dan siapa pula yang membelot, murtad dari agamanya. Dan sungguh pengalihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Baitullah itu terasa berat bagi mereka, kecuali orang-orang yang diberikan petunjuk oleh Allah Ta’ala ke dalam hatinya serta meyakini kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan apa yang dibawanya adalah benar, tiada keraguan di dalamnya. Dan bahwa Allah Ta’ala dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan memutuskan sesuai dengan keinginan-Nya. Dia berhak membebani hamba-hamba-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya dan menghapuskannya dari siapa saja apa yang dikehendaki-Nya pula. Dia mempunyai hikmah yang sangat sempurna dan hujjah yang sangat kuat dalam semuanya itu. Berbeda dengan orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit, yang setiap kali terjadi suatu persoalan, timbullah keraguan dalam hatinya, sebagaimana hal itu menimbulkan keyakinan dan pembenaran dalam hati orang-orang yang beriman sebagaimana firman-Nya dalam Surah At Taubah ayat 124-15 yang artinya: “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, "Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini? Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedangkan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hall mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafir-annya (yang telah ada).”
Firman-Nya (وما كان الله ليضيع إيمانكم) artinya, salat kalian ke arah Baitul Maqdis sebelum itu, pahalanya tidak akan disia-siakan di sisi Allah Ta’ala. Diriwayatkan dalam Kitab Sahih, hadis dari Abu Ishaq As-Suba’i, dari Al-Barra’, katanya, “Ada beberapa orang yang telah meninggal, sedangkan mereka salat dengan menghadap ke Baitul Maqdis. Maka para sahabat menanyakan tentang keadaan mereka dalam hal tersebut.” Maka turunlah lafaz ini. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas, dan dinyatakannya hadis sahih. Juga menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Ibnu Abbas, “Artinya yaitu, salat yang kalian kerjakan dengan menghadap kiblat pertama (Baitul Maqdis), dan pembenaran terhadap Nabi kalian, serta ketaatan kalian mengikutinya menghadap ke kiblat yang lain (Ka’bah). Maksudnya, Dia akan memberikan pahala atas semuanya itu.
Firman-Nya (إن الله بالناس لرؤوف رحيم), dalam hadis sahih disebutkan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً مِنَ السَّبْيِ قَدْ فُرِّقَ بَيْنَهَا
وَبَيْنَ وَلَدِهَا، فَجَعَلَتْ كُلَّما وَجَدَتْ صَبِيًّا مِنَ السَّبْيِ
أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِصَدْرِهَا، وَهِيَ تَدُور عَلَى، وَلَدِهَا، فَلَمَّا
وَجَدَتْهُ ضَمَّتْهُ إِلَيْهَا وَأَلْقَمَتْهُ ثَدْيَهَا. فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا
فِي النَّارِ، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَلَّا تَطْرَحَهُ؟ " قَالُوا: لَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "فَوَاللَّهِ، لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ
هَذِهِ بِوَلَدِهَا"
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang wanita
dari kalangan tawanan perang, sedangkan antara wanita itu dengan
anaknya telah dipisahkan. Maka setiap kali wanita itu menjumpai seorang
bayi, ia menggendongnya dan menempelkannya pada teteknya, sedangkan dia
terus berputar ke sana kemari mencari bayinya. Setelah wanita itu
menemukan bayinya, maka langsung digendong dan disusukannya. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Bagaimanakah pendapat
kalian, akankah wanita ini tega melemparkan bayinya ke dalam api,
sedangkan dia sendiri mampu untuk tidak melemparkannya?" Mereka
menjawab, "Tentu tidak, wahai Rasulullah." Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, "Maka demi Allah, sesungguhnya Allah lebih
sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini kepada anaknya." (HR.
Al-Bukhari: 5999 dan Muslim: 2754)
Komentar
Posting Komentar