Bagian 1
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ
مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Yā ayyuhan nāsut taqqū rabbakumulladzī khalaqakummin nafsin wāhidatin wa khalaqa minhā zaujahā wa batstsa minhumā rijālan katsīran wa nisā’a. Wattaqullāhal ladzī tasā’alūna bihī wal arhām.
Artinya, “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu; yang telah menciptakan darinya istrinya; dan telah menyebarkan dari keduanya (keturunan) laki-laki dan perempuan yang banyak. Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah dan takutlah kalian memutus silaturrahim. Sungguh Allah adalah Zat yang maha mengawasi kalian.”
Ragam Tafsir
Menurut Imam Abu Ja’far at-Thabari (224-310 H/839-923 M) maksud frasa: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu”, adalah takutlah kalian wahai manusia kepada Tuhan kalian.
Takut untuk menentangnya dalam perintah dan larangannya, sehingga menyebabkan siksa-Nya yang tiada kira menimpa kalian. Kemudian Allah menyifati zat-Nya bahwa hanya Dia yang menciptakan seluruh manusia dari satu jiwa dengan:
(1) memberitahukan kepada para hamba-Nya bahwa sebenarnya awal mula penciptaan dirinya hanya dari satu jiwa, serta mengingatkan kepada mereka bahwa
(a) seluruh manusia merupakan satu keturunan dari seorang ayah dan ibu, yaitu Nabi Adam ‘alaihis salam dan Hawa,
(b) mengingatkan bahwa hak sebagian mereka atas sebagian lainnya adalah wajib dijaga sebagaimana seorang saudara wajib menjaga hak saudara lainnya, sebab semua manusia terkumpul dalam nasab seayah dan seibu,
(c) mengingatkan bahwa kewajiban saling menjaga antara satu dengan lainnya meskipun pertemuan nasab kepada Nabi Adam ‘alaihis salam sangat jauh, namun hukumnya sebagaimana dengan kewajiban saling menjaga antara kerabat yang dekat nasabnya;
(2) dengan menghubungkan antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain agar saling berbuat adil dan tidak saling berbuat zalim, serta agar orang yang kuat membantu orang yang lemah dengan cara-cara yang baik sesuai yang diwajibkan oleh Allah kepadanya. (Abu Ja’far at-Thabari Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, [Beirut, Muassasah ar-Risalah: 1420 H/2000 M], tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, juz V, halaman 512-514).
Menurut Imam Ahmad as-Shawi (1175-1241 H/1761-1852 M) frasa: يَا أَيُّهَا النَّاسُ “Wahai manusia”, merupakan khitab atau firman Tuhan bagi seluruh mukallaf, laki-laki maupun perempuan, manusia maupun jin—karena pahala yang diperuntukkan manusia juga dianugerahkan kepada jin dan siksa yang diterapkan kepada manusia juga diterapkan kepada mereka—. Ayat ini juga tidak turun khusus untuk orang yang hidup pada saat ayat turun, karena kaidah: al-‘Ibrah bi ‘umuumil lafzhi la bi khushushis sabab, “yang dipertimbangkan adalah keumuman cakupan teks, bukan khusus untuk penyebab turunnya ayat .”
Selain itu menurutnya, frasa الَّذِي خَلَقَكُمْ ... mengandung isyarat bahwa ketakwaan itu juga berkaitan dengan hak sebagian orang dengan sebagian lainnya, karena semua berasal dari satu jiwa yaitu Nabi Adam ‘alaihis salam. Karenanya, ketakwaan yang wajib kita jaga adalah: (1) ketakwaan terhadap Tuhan karena Dia yang telah menciptakan kita; dan (2) ketakwaan yang berkaitan dengan menjaga hak antara orang yang satu dengan lainnya, karena semuanya berasal dari asal yang satu yaitu Nabi Adam ‘alaihis salaam. (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyah as-Shawi ‘ ala Tafsir al-Jalalain, [Beirut: Dar al-Fikr, 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz I, halaman 266).
Sementara berkaitan dengan frasa: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu”, Imam Fakhruddin ar-Razi (544-606H/1150-1210 M) menyatakan, bahwa kondisi khusus di mana Allah subhaanahu wa ta’aala merupakan Zat yang menciptakan kita dari satu jiwa merupakan faktor yang karenanya kita wajib menaati segala perintah-Nya dan menjauhi dari bermaksiat kepadanya.
Banyak argumentasi yang dapat digunakan untuk menjelaskannya secara ideal. Di antaranya adalah, bahwa penciptaan seluruh manusia dengan beragam keunikannya masing-masing dari asal satu jiwa sangat jelas menunjukkan kesempurnaan kuasa-Nya. Yaitu dari sisi andaikan penciptaan manusia terjadi berdasarkan proses thabi’i (alami) dan berdasarkan kekhasannya, maka semua keturunan yang dilahirkannya semestinya juga akan sangat mirip sifatnya, bentuknya, dan tabiat tahu sifat alaminya.
Karenanya, ketika faktanya kita lihat masing-masing manusia ada yang berkulit putih, hitam, kemerah-merahan, dan kecoklat-coklatan; ada yang bagus dan ada yang buruk; ada yang tinggi da nada yang pendek; semua itu menunjukkan bahwa Zat yang mengatur pennciptaan dan yang menciptakannya adalah Zat yang maha berbuat dan berkedaulatan penuh atau sangat independen. Tidak ada tabiat alami yang mempengaruhi penciptaan makhluk, dan tidak ada ‘illat (sebab) yang mewajibkan atau mendesak penciptaannya.
Ketika penjelasan mendalam seperti ini jelas-jelas menunjukkan bahwa Allah sebagai pengatur alam semesta merupakan Zat yang maha berbuat, yang maha berkedaulatan penuh, maha kuasa atas segala ciptaan-Nya, dan maha mengetahui segala detail pengetahuan yang ada, maka tidak diragukan lagi wajiblah kita untuk tunduk dan patuh terhadap berbagai tanggung jawab, perintah dan larangan-Nya.
Dari sini menjadi sangat terang benderang, bahwa perintah takwa dalam awal ayat: “Bertakwalah kepada Tuhan kalian” sangat support atau cocok dengan penciptaan manusia dari satu jiwa yang disinggung dalam frasa setelahnya: “Yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu.”
Pantas sekali manusia kita diperintahkan bertakwa kepada Tuhan Sang Maha Pencipta, karena terbukti secara nyata kekuasaan-Nya. Meski asalnya satu jiwa, keturunannya menjadi sangat beragam dan beraneka warna. Itu tidak akan terjadi kecuali atas penciptaan Allah subhaanahu wata’ala Yang Maha Berkuasa. Wallaahu a’lam. (Fakhruddin Muhammad ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, [Beirut: Darul Fikr, tanpa tahun], juz IX, halaman 165).
Bagian 2
مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Yā ayyuhan nāsut taqū rabbakumul ladzī khalaqakum min nafsin wāhidatin wa khalaqa minhā zaujahā wa batstsa minhumā rijālan katsīran wa nisā’ā. Wat taqullāhal ladzī tasā’alūna bihī wal arhām.
Artinya, “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu; yang telah menciptakan darinya istrinya; dan telah menyebarkan dari keduanya (keturunan) laki-laki dan perempuan yang banyak. Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah dan takutlah kalian memutus silaturrahim. Sungguh Allah adalah Zat yang maha mengawasi kalian.”
Ragam Tafsir
Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606H/1150-1210 M) menyatakan, berkaitan frasa:وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا “dan Zat yang telah menciptakan darinya istrinya”, ada dua pendapat, apakah Sayyidah Hawa benar-benar tercipta dari Nabi Adam AS atau tidak. Pendapat pertama yang merupakan pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa Sayyidah Hawa tercipta dari tulang rusuk kiri Nabi Adam AS. Pendapat demikian berdasarkan pada hadits:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا؛ فَإِنَّ المَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلَعِ أعْلاهُ. فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوصُوا بالنِّساءِ
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda, ‘Terimalah wasiatku untuk berbuat baik kepada para wanita. Sebab sungguh wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan sungguh tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian yang paling atas (sebagai isyarat atas yang paling sulit diatur dari wanita adalah mulutnya). Bila kamu bertindak meluruskannya, maka kamu akan membuatnya pecah. Bila kamu tidak meluruskannya, maka ia akan bengkok terus. Karenanya, terimalah wasiatku untuk berbuat baik kepada para wanita.” (Muttafaq Alaih). (An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1425 H/2005 M], halaman 77); dan (Ibn ‘Allan As-Shiddiqi, Dalilul Falihin li Thuruqi Riyadhis Shalihin, juz II, halaman 385).
Pendapat kedua, pendapat mufassir mu’tazilah dari kota Isfahan, kota di negeri Persia tempo dulu atau sekarang 340 km dari Teheran Iran, Abu Muslim Al-Ashfihani (254-366 H/868-934 M), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan frasa: وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا “Zat yang telah menciptakan darinya istrinya”, adalah Allah menciptakan pasangan Nabi Adam AS yaitu Sayyidah Hawa dari jenisnya, atau sejenis, bukan dari tulang rusuknya. Hal ini identik dengan beberapa ayat, semisal:
وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
Artinya, “Allah telah menjadikan beberapa istri dari diri kalian.” (Surat An-Nahl ayat 72).
إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مّنْ أَنفُسِهِمْ
Artinya, “Karena Allah telah mengutus seorang Rasul (Nabi Muhammad SAW) dari diri kalian orang-orang Arab.” (Surat An-Nahl 72).
لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مّنْ أَنفُسِكُمْ
Artinya, “Sungguh benar-benar telah datang kepada kalian seorang Rasul dari diri kalian orang-orang Arab.” (Surat At-Taubah ayat 128).
Namun demikian, menurut Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillai (337-403 H/950-1013 M), tokoh utama kalangan Asya’irah kelahiran kota Basrah, Irak sekarang, yang kuat adalah pendapat pertama, agar sesuai dengan frasa sebelumnya: خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ “Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu.”
Andaikan Sayyidah Hawa diciptakan sejak permulaan tanpa dari bahan tulang rusuk adam, maka konsekuensi logisnya, asal usul manusia itu dari dua jiwa, yaitu Adam dan Hawa, bukan dari satu jiwa yaitu Adam AS saja. (Fakhruddin Muhammad Ar-Razi, Tafsir Al-Fakhrur Razi, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz IX, halaman 167).
Lalu bagaimana pendapat mufassir Ahlussunnah wal Jama’ah lainnya, insya Allah akan dibahas pada kajian tafsir selanjutnya…
Bagian 3
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Yā ayyuhan nāsut taqū rabbakumulladzī khalaqakum min nafsin wāhidatin wa khalaqa minhā zaujahā wa batstsa minhumā rijālan katsīran wa nisā’a. Wat taqullāhalladzī tasā’alūna bihī wal arhām.
Artinya, “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu; yang telah menciptakan darinya istrinya; dan telah menyebarkan dari keduanya (keturunan) laki-laki dan perempuan yang banyak. Takutlah kalian kepada Allah Dzat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah dan takutlah kalian memutus silaturrahim. Sungguh Allah adalah Dzat Yang Maha Mengawasi kalian.”
Ragam Tafsir
Makna frasa: وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا “Dan Dzat yang telah menciptakan darinya istrinya”—yang kemudian memunculkan dua (2) pendapat, apakah Sayyidah Hawa benar-benar tercipta dari Nabi Adam ‘alaihis salam atau tidak, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606H/1150-1210 M)—,bila merujuk penafsiran Imam Abu Ja’far At-Thabari (224-310 H/839-923 M) dalam Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Āyi al-Qur’an, maka maksudnya adalah, dari jiwa yang satu berupa Nabi Adam ‘alaihis salam, Allah kemudian menciptakan manusia kedua sebagai pasangannya, yaitu Sayyidah Hawa:
يَعْنِي بِقَوْلِهِ جَلَّ ثَنَاؤُهُ:وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا، وَخَلَقَ مِنَ النَّفْسِ الْوَاحِدَةِ زَوْجَهَا. يَعْنِي بِـالزَّوْجِ، الثَّانِي لَهَا. وَهُوَ فِيمَا قَالَ أَهْلُ التَّأْوِيلِ، امْرَأَتُهَا حَوَاء.
Artinya, “Yang dimaksud oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan Firman-Nya: ‘Yang telah menciptakan darinya istrinya’, maksud redaksi زَوْجَهَا adalah makhluk kedua bagi Nabi Adam ‘alaihis salam sebagai makhluk pertama. Dalam pendapat para ahli ta’wil adalah istri Nabi Adam ‘alaihis salam, yaitu Sayyidah Hawa.”
Para mufassir Al-Qur’an generasi tabiin pun menafsirkannya demikian, seperti Mujahid, As-Suddi, Qatadah dan Ibn Ishaq, sehingga semakin menguatkan pendapat pertama yang menyatakan bahwa Sayyidah Hawa benar-benar tercipta dari Nabi Adam ‘alaihis salām. Dari tulang rusuknya. (Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari, Tafsir At-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Āyil Qur’an, [Kairo, Daru Hijr: 1422 H/2001 M], cetakan pertama, tahqiq: Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, juz VI, halaman 340-343).
Secara apik Syekh Ahmad bin Muhammad As-Shawi dalam catatannya atas Tafsir Al-Jalalain mengisahkan penciptaan Hawa dari tulang rusuk kiri Nabi Adam ‘alaihis salam.
Setelah Nabi Adam ‘alaihis salam terlelap dalam tidur, kemudian salah satu tulang rusuk kirinya diambil tanpa terasa sakit sedikit pun. Setelah bangun, tiba-tiba Nabi Adam ‘alaihis salam mendapati sosok wanita berada di sampingnya. Seketika itu hatinya tertarik dan secara spontan hendak mengulurkan tangan kepadanya.
Namun malaikat menyergah: “Jangan wahai Adam, sampai Engkau memenuhi maharnya.”
“Maka apa maharnya?” tanya Nabi Adam ‘alaihis salaam.
Malaikat menjawab: “Sehingga Engkau membaca shalawat bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam suatu riwayat membaca shalawat tiga (3) kali, dan dalam riwayat lain 17 kali.
Singkat kisah, kemudian Nabi Adam ‘alaihis salam menikah dengan Sayyidah Hawa dan tidak meninggal dunia sehingga mempunyai anak cucu lebih dari 100 ribu orang, yang semuanya sibuk beraktivitas dengan berbagai ketrampilan hidup dan perdagangan. (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyah as-Shawi‘ ala Tafsir al-Jalalain, [Bairut: Dar al-Fikr, 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz I, halaman 266-267).
Demikianlah awal mula peradaban manusia dibangun oleh Nabi Adam ‘alaihis salam dan Sayyidah Hawa. Kemudian berlanjut hingga generasi manusia sekarang. Semuanya tanpa terkecuali adalah saudara yang harus saling menjaga antara satu dengan lainnya karena semuanya berasal dari satu jiwa, yaitu Nabi Adam ‘alaihis salam. Wallahu a’lam.
Bagian 4
Berikut ini adalah kutipan Surat An-Nisa ayat 1 dan kutipan sejumlah kitab tafsir tentangnya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً، وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ، إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Yā ayyuhan nāsut taqqū rabbakumul ladzī khalaqakummin nafsin wāhidatin wa khalaqa minhā zaujahā wa batstsa minhumā rijālan katsīran wa nisā’a. Wattaqullāhal ladzī tasā’alūna bihī wal arhām.
Artinya, “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu; yang telah menciptakan darinya istrinya; dan telah menyebarkan dari keduanya (keturunan) laki-laki dan perempuan yang banyak. Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah dan takutlah kalian memutus silaturrahim. Sungguh Allah adalah Zat yang maha mengawasi kalian.”
Ragam Tafsir
Berkaitan frasa: وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً “Tuhan yang telah menyebarkan dari keduanya (Nabi Adam AS dan Hawa, keturunan) laki-laki yang banyak dan perempuan,” mufassir Damaskus Syiria Syekh Burhanuddin al-Baqa’i (809-885 H/1406-1480 M) menjelaskan, maksud kalimat وَبَثَّ مِنْهُمَا “Tuhan yang telah menyebarkan dari keduanya” adalah Allah telah memisah-misah dan menyebarkan keturunan Nabi Adam AS dan Sayyidah Hawa dengan cara beranak-pinak.
Lalu mengingat Nabi Adam AS–sebagai asal mula manusia yang kemudian dipisah-pisah dan disebarkan sebelumnya tidak ada atau tidak wujud, kemudian diwujudkan secara baru oleh Allah SWT dari ketiadaannya–Allah memahamkan hal ini dengan mengemas penggalan ayat Al-Qur’an dengan redaksi nakirah yang bersifat umum رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً “(Keturunan) laki-laki yang banyak dan perempuan”, maksudnya dari jiwa yang satu, yaitu Nabi Adam AS.
Oleh karena itu, perbuatan baik di antara sesama manusia, satu sama lain, itu hakikatnya merupakan silaturrahim, menyambung persaudaraan. (Burhanuddin Al-Biqa’i, Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayat was Suwar, [Kairo: Darul Kitab Al-Islami: tanpa tahun], juz V, halaman 175).
Demikian pula pemaknaan ayat menurut Syekh Nashiruddin Al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M). Ayat ini menjelaskan proses manusia dilahirkan dari Nabi Adam AS dan Sayyidah Hawa, kemudian beranak-pinak laki-laki dan perempuan yang sangat banyak.
Lebih lanjut Al-Baidhawi menerangkan, perintah takwa dalam kisah ini sangat relevan dengan petunjuk kekuasaan dan nikmat Allah atas manusia. Hanya Allah yang menciptakan dan memberikan segala nikmat kepadanya—demikian pula seluruh alam lainnya—. oleh karena itu, hanya Allah yang pantas ditakuti dan ditaati.
Sementara berkaitan dengan redaksi ayat: رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً “(Keturunan) laki-laki yang banyak dan perempuan,” di mana dalam ayat yang secara terang-terangan disifati dengan ‘banyak’ adalah orang yang berjenis laki-laki. Hal itu mengingat hikmah bahwa faktanya orang berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Oleh karenanya yang disifati banyak cukup yang laki-laki. Kalau perempuan, sudah jelas banyaknya, bahkan lebih banyak daripada laki-laki. (Nashiruddin Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi, juz I, halaman 138).
Imam Abu Ja’far At-Thabari (224-310 H/839-923 M) lebih detail dalam Jāmi’ul Bayān ‘an Ta’wīli Āyil Qur’ān menjelaskan, maksud frasa وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً “Tuhan yang telah menyebarkan dari keduanya (Nabi Adam AS dan Hawa, keturunan) laki-laki yang banyak dan perempuan” adalah, Allah telah menyebarluaskan laki-laki dan perempuan yang sangat banyak dari Nabi Adam AS dan Sayyidah Hawa yang telah mereka lihat saat mereka masih hidup.
Redaksi وَبَثَّ dalam ayat sama dengan redaksi kata الْمَبْثُوثِ dalam ayat Surat Al-Qari’ah ayat 4 yang bermakna menebarkan atau menyebarluaskan:
يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ
Artinya, “(Hari kiamat di mana) pada hari itu manusia menjadi seperti anai-anai yang bertebaran.” (Abu Ja’far At-Thabari, Jāmi’ul Bayān ‘an Ta’wīli Āyil Qur’ān, [Kairo, Daru Hijr: 1422 H/2001 M], cetakan pertama, juz VI, halaman 340-343).
Dalam konteks ini Imam Ahmad bin Muhammad menyampaikan riwayat secara terperinci, bahwa Sayyidah Hawa dari pernikahan dengan Nabi Adam AS hamil 20 atau 40 kandungan. Dalam masing-masing kandungan terdapat janin bayi laki-laki dan perempuan. Di kemudian hari lalu laki-laki masing-masing kandungan dinikahkan silang perempuan kandungan lain,—dalam hal ini perbedaan kandungan dihukumi sebagaimana perbedaan ayah dan ibu—.
Nabi Adam AS tidak meninggal sampai anak cucunya berjumlah 100 ribu orang lebih. Masing-masing sibuk beraktivitas dengan berbagai keterampilan hidup dan perdagangan sebagaimana telah disinggung dalam Tafsir Surat An-Nisa’ ayat 1 (Bagian 3). (Ahmad bin Muhammad As-Shawi, Hasyiyyatus Shawi‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 267). Wallahu a‘lam.
Bagian 5
Berikut ini adalah kutipan, transliterasi, terjemahan, dan penafsiran sejumlah ulama atas Surat An-Nisa ayat 1.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً، وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ، إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Yā ayyuhan nāsut taqqū rabbakumul ladzī khalaqakum min nafsin wāhidatin wa khalaqa minhā zaujahā wa batstsa minhumā rijālan katsīran wa nisā’a. Wattaqullāhal ladzī tasā’alūna bihī wal arhām.
Artinya, “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu; yang telah menciptakan istrinya darinya; dan telah menyebarkan dari keduanya (keturunan) laki-laki yang banyak dan perempuan. Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah. Takutlah kalian memutus silaturrahim. Sungguh, Allah adalah Zat yang maha mengawasi kalian.”
Ragam Tafsir
Maksud frasa: وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ “Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah dan takutlah kalian memutus silaturrahim”, menurut Imam Ahmad As-Shawi (1175-1241 H/1761-1852 M) adalah, takutlah kalian kepada Allah yang dengan-Nya sebagian kalian bersumpah atau meminta sesuatu kepada sebagian yang lain karena Allah adalah Zat yang maha agung.
Oleh sebab itu, Allah lebih pantas digunakan untuk bersumpah dan meminta sesuatu kepada orang lain daripada selain-Nya pada masa manusia jahiliyah bersumpah atau meminta sesuatu kepada orang lain dengan nama Tuhan telah menjadi tradisi, seperti ucapan, “Demi Tuhan aku meminta atau bersumpah kepadamu …” sehingga orang yang bersumpah dengan nama Tuhan seakan berada dalam lindungan-Nya dan bebas dari gangguan orang lain dalam masalah yang telah disumpahkannya.
Demikian pula hubungan kekerabatan sering pula digunakan orang untuk bersumpah atau meminta sesuatu kepada orang lain. Penafsiran ini berangkat dari qira’at yang membaca kata وَالْأَرْحَامِ dengan jarr/khafadh atau kasrah huruf mim-nya, ‘athaf pada kata بِهِ yang ada pada frasa sebelumnya.
Dari sini diketahui bahwa makna lengkap frasa وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامِ adalah, “Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah. Takutlah pula kalian pada hubungan silaturrahim (kekerabatan) yang dengannya pula kalian beradu sumpah”.
Dalam konteks ini Nabi Harun AS bersumpah dengan menggunakan mulianya hubungan kekerabatan kepada Nabi Musa AS yang sedang marah dan mencengkeram jenggot serta kepalanya karena setelah ditinggal 40 hari untuk mendapatkan wahyu Kitab Taurat kaumnya justru mengikuti ajakan Musa As-Samiri untuk menyembah berhala anak sapi:
يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي
Artinya, “Wahai anak ibuku, janganlah Engkau pengang jenggot dan kepalaku.” (Surat Thaha ayat 94).
Lain halnya bila kata وَالْأَرْحَامَ dibaca nashab atau fathah huruf mim-nya, ‘athaf pada kata اللهَ yang ada pada frasa sebelumnya, maka maknanya adalah “Takutlah kalian memutus hubungan silaturrahim”.
Dengan pembacaan demikian, makna lengkap frasa وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ adalah, “Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah dan takutlah pula kalian memutus hubungan silaturrahim.” (As-Shawi, Hasyiyyatus Shawi ‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut: Darul Fikr: 2004 M/1424 H], juz I, halaman 267-268).
Secara lebih lugas Syekh Nawawi Banten (1230-1316 H) menjelaskan, frasa: وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ dapat dimaknai dengan dua (2) penafsiran.
Penafsiran pertama, “Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah dan takutlah pula kalian pada hubungan silaturrahim (kekerabatan) yang dengannya pula kalian beradu sumpah”, karena adat orang Arab meminta sesuatu (atau bersumpah) kepada orang lain dengan menyebut Allah atau hubungan silaturrahim;
Penafsiran kedua, “Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah, takut dengan cara menaati-Nya dan menjauhi maksiat kepada-Nya; dan takutlah pula kalian pada hubungan silaturrahim (kekerabatan) dengan cara menyambungnya dan tidak memutusnya…” (Lihat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, At-Tafsirul Munir li Ma’alimit Tanzil, [Beirut, Darul Fikr: 2006 M/1425 H], juz I, halaman 152). (selesai…)
Bagian 6
Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat An-Nisa ayat 1:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Yā ayyuhan nāsut taqqū rabbakumul ladzī khalaqakum min nafsin wāhidatin wa khalaqa minhā zaujahā wa batstsa minhumā rijālan katsīran wa nisā’a. Wattaqullāhal ladzī tasā’alūna bihī wal arhām. Innallāha kāna ‘alaikum raqīban.
Artinya, “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu; yang telah menciptakan istrinya darinya; dan telah menyebarkan dari keduanya (keturunan) laki-laki dan perempuan yang banyak. Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah. Takutlah kalian memutus silaturrahim. Sungguh Allah adalah Zat yang maha mengawasi kalian.”
Ragam Tafsir
Berkaitan frasa: إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا “Sungguh Allah adalah Zat Yang Maha Mengawasi kalian”, makna asal kata رَقِيبًا adalah penanti, penjaga, dan yang tahu. Dalam ayat kemudian dimaknai sebagai Allah Dzat Yang Maha Menjaga dan yang Maha Mengetahui.
Sebagaimana riwayat penafsiran dari Mujahid dan Ibn Zaid. Kemudian dari situ Imam Abu Ja’far at-Thabari (224-310 H/839-923 M) menafsirkan secara lebih lengkap. Maksudnya Allah adalah Zat Yang Maha Mengetahui secara persis amal-amal kalian, Zat Yang Maha Memeriksa penjagaan kalian atas kehormatan sanak kerabat kalian dan bagaimana kalian menyambung silaturrahim terhadap mereka, atau bagaimana kalian justru memutus silaturrahim terhadap mereka dan menyia-nyiakannya. (Abu Ja’far at-Thabari Muhammad bin Jarir, Jami’ul Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, [Beirut, Muassasatur Risalah: 1420 H/2000 M], juz VII, halaman 523).
Salah satu mufassir kontemporer paling masyhur asal Mesir, Syekh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi (1329-1419 H), menjelaskan, arti kata raqib adalah yang melihat secara sengaja, sebagaimana orang-orang berkata: “Fulan yuraqibu Fulanan (Si Fulan melihat dengan sengaja Si Fulan lainnya)”.
Realita dalam kehidupan manusia, memang ada orang yang melihat sepintas saja tanpa sengaja. Namun bila orang disebut sebagai muraqib (raqib-pen), maka konteksnya adalah ia sedang mengawasi orang lain dengan seksama, sebagaimana dalam ayat: إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا “Sungguh Allah adalah Zat Yang Maha Mengawasi kalian.
Artinya, Allah tidak sekadar Zat Yang Maha Melihat, namun Ia adalah Raqibun, Zat Yang Maha Mengawasi. Sebagaimana kita mendapati seseorang terkadang melihat sesuatu secara sepintas saja. Ia melihat banyak hal yang dijumpainya, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai raqib atau orang yang mengawasi kecuali dengan penuh kesadaran hatinya. Yang benar adalah Allah Maha Mengawasi kita semua tanpa ada detail yang terlewatkan sebagaimana dalam ayat lain:
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ (14)
Artinya, “Sungguh Tuhanmu benar-benar mengawasi (seluruh amal manusia dan tidak lepas sedikitpun darinya, lalu Ia akan memberi balasan kepadanya).” (Al-Fajr: 14). (Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi, Tafsir As-Sya’rawi, [Mesir, Akhbarul Yaum: 1991 M], jilid VI, halaman 1992).
Dalam referensi tafsir lain, Syekh Muhammad Nawawi Banten (1230-1316 H) secara lugas menafsirkan: Allah adalah Zat Yang Menjaga dan Melihat seluruh perbuatan dan ucapan yang keluar dari kalian, dan segala niat yang tersimpan dalam hati kalian, dan Zat Yang Maha Berkehendak untuk memberi balasan atas semuanya. (Syekh M Nawawi Al-Jawi, At-Tafsirul Munir li Ma’alimit Tanzil, [Beirut, Darul Fikr: 1425 H/2006 M], juz I, halaman 152).
Sementara menurut Imam Ahmad bin Muhammad As-Shawi (1175-1241 H/1761-1852 M), posisi frasa: إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا “Sungguh Allah adalah Zat Yang Maha Mengawasi kalian”, merupakan ‘illat frasa-frasa sebelumnya, yaitu:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً، وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ،
Artinya, “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu; yang telah menciptakan darinya istrinya; dan telah menyebarkan dari keduanya (keturunan) laki-laki yang banyak dan perempuan. Takutlah kalian kepada Allah Zat yang dengan-Nya kalian beradu sumpah dan takutlah kalian memutus silaturrahim.” (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyatus Shawi ‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 267-268).
Artinya mengapa manusia diperintah bertakwa kepada Allah yang telah menciptakannya dari satu jiwa yaitu Nabi Adam As; dan mengapa manusia diperintah bertakwa serta menjaga hubungan kekerabatan atau silaturrahim, tiada lain karena sungguh Allah adalah Zat Yang Maha Mengawasi segala aktivitas manusia, baik yang tampak lahiriah seperti perbuatan dan ucapan, maupun yang tersimpan secara batiniah, seperti niat, bersitan hati dan semisalnya. Tidak ada satupun aktivitas manusia yang lepas dari monitoring Allah SWT.
Merujuk penafsiran Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606H/1150-1210 M), Allah adalah Zat Maha Mengawasi seluruh amal perbuatan manusia, dan Zat Yang Maha Mengawasi seperti itu semestinya ditakuti murka-Nya sekaligus diharapkan rahmat-Nya. Allah telah menjelaskan bahwa Ia Maha Mengetahui rahasia sampai yang paling samar pun.
Bila demikan, maka setiap manusia wajib hati-hati dan waspada dalam setiap aktivitas yang dilakukan maupun ditinggalkannya. Karena tidak ada satupun aktivitasnya yang terlepas dari pengawasan Allah SWT. (Fakhruddin Muhammad Ar-Razi, Tafsir Al-Fakhr Ar-Razi, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz IX, halaman 172-173).
Komentar
Posting Komentar