Al-
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٠
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'" Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau!" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”
Firman-Nya (وإذ قال ربك للملائكة) artinya wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ingatlah ketika Rabb-mu berkata kepada para malaikat, dan ceritakan pula hal itu kepada kaummu. Allah Ta’ala memberitahukan ihwal penganugerahan karunia-Nya kepada anak cucu Adam, yaitu berupa penghormatan kepada mereka dengan membicarakan mereka di hadapan para malaikat, sebelum mereka diciptakan.
Firman-Nya (إني جاعل في الأرض خليفة) artinya suatu kaum yang akan menggantikan suatu kaum lainnya, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-An’aam ayat 165 yang artinya: “Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi.” Juga firman-Nya dalam Surah Az-Zukhruf ayat 60 yang artinya: “Dan kalau Kami menghendaki, benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi ini malaikat-malaikat yang turun menurun.” Yang jelas bahwa Allah Ta’ala tidak hanya menghendaki Adam saja, karena jika yang dikehendaki hanya Adam, niscaya tidak tepat pertanyaan malaikat dalam ayat ini. Artinya bahwa para malaikat itu bermaksud bahwa di antara jenis makhluk ini terdapat orang yang akan melakukan hal tersebut. Seolah-olah para malaikat mengetahui hal itu berdasarkan ilmu khusus, atau mereka memahami dari kata khalifah yaitu orang yang memutuskan perkara di antara manusia tentang kezaliman yang terjadi di tengah-tengah mereka, dan mencegah mereka dari perbuatan terlarang dan dosa. Demikian yang dikemukakan oleh Imam Al-Qurthubiy. Atau mereka membandingkan manusia dengan makhluk sebelumnya.
Ucapan malaikat ini bukan sebagai penentangan terhadap Allah Ta’ala, atau kedengkian terhadap anak cucu Adam, sebagaimana yang diperkirakan sebagian mufasir. Mereka ini telah disifati Allah Ta’ala sebagai makhluk yang tidak mendahului-Nya dengan ucapan, yaitu tidak menanyakan sesuatu yang tidak Dia izinkan. Di sini tatkala Allah Ta’ala memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan makhluk di bumi, Qatadah mengatakan, “Para malaikat telah mengetahui bahwa mereka akan melakukan kerusakan di muka bumi,” maka mereka bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalfiah) di bumi ini orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.” Pertanyaan itu hanya dimaksudkan untuk meminta penjelasan dan keterangan tentang hikmah yang terdapat di dalamnya. Maka untuk memberikan jawaban atas pertanyaan para malaikat itu, Allah Ta’ala berfirman (إني أعلم مالا تعلمون) artinya Allah Ta’ala mengetahui dalam penciptaan golongan ini (manusia) terdapat kemaslahatan yang lebih besar daripada kerusakan yang kalian khawatirkan, dan kalian tidak mengetahui, bahwa Aku menjadikan di antara mereka para nabi dan rasul yang diutus ke tengah-tengah mereka. Dan di antara mereka juga terdapat para shaddiqun, syuhada’, orang-orang salih, orang-orang yang taat beribadah, ahli zuhud, para wali, orang-orang yang dekat kepada Allah Ta’ala, para ulama, orang-orang yang khusyu’ dan orang-orang yang cinta kepada-Nya, serta orang-orang yang mengikuti para rasul-Nya.
Dalam hadis sahih telah ditegaskan bahwa jika para malaikat naik menghadap Allah Ta’ala dengan membawa amal hamba-hamba-Nya, maka Dia akan menanyakan kepada mereka, padahal Dia lebih tahu tentang manusia, “Dalam keadaan bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba-Ku?” Mereka menjawab, “Kami datang kepada manusia ketika mereka sedang mengerjakan salat dan kami tinggalkan dalam keadaan mengerjakan salat pula.” Yang demikian itu karena mereka datang silih berganti mengawasi kita berkumpul dan bertemu pada waktu Salat Subuh dan Salat Ashar. Maka di antara mereka ada yang tetap tinggal mengawasi, sedang yang lain lagi naik menghadap Allah Ta’ala dengan membawa amal para hamba-Nya. Ucapan para malaikat, “Kami datangi mereka ketika sedang mengerjakan salat dan kami tinggalkan mereka juga ketika dalam keadaan mengerjakan salat,” merupakan tafsiran firman Allah Ta’ala kepada mereka yaitu (إني إعلم ما لا تعلمون).
Ada juga pendapat yang mengatakan, hal itu merupakan jawaban atas ucapan para malaikat, yaitu firman-Nya (ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك). Maka Dia pun berfirman (إني أعلم ما لا تعلمون) yaitu mengetahui akan adanya Iblis di antara kalian, dan Iblis itu bukanlah seperti yang kalian sifatkan untuk diri kalian sendiri.
Ada juga pendapat, ucapan para malaikat yang terdapat dalam ayat ini mengandung permohonan agar mereka ditempatkan di bumi sebagai pengganti Adam dan keturunannya. Maka Allah Ta’ala pun berfirman kepada para malaikat (إني أعلم مالا تعلمون) artinya adalah tempat tinggal kalian di langit itu lebih baik dan tepat bagi kalian. Demikian yang dikemukakan oleh Ar-Razi.
Firman-Nya (إني جاعل في الأرض خليفة) menurut Ibnu Jarir, dari Al-Hasan Al-Bashri dan Qatadah mengatakan bahwa maksud Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikat adalah Dia memberitahukan hal itu kepada mereka. Ibnu Jarir mengatakan artinya adalah Allah Ta’ala akan menjadikan di muka bumi seorang khalifah dari-Ku yang menjadi pengganti-Ku dalam memutuskan perkara secara adil di antara semua makhluk-Ku. Khalifah tersebut adalah Adam dan mereka yang menempati posisinya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala dan pengambilan keputusan secara adil di tengah-tengah umat manusia.
Firman-Nya (ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك) menurut Abd Ar-Razak, dari Mu’ammar, dari Qatadah, berkata: “Tasbih adalah tasbih, sedang taqdis adalah salat.” Ibnu Jarir mengatakan, taqdis berarti pengagungan dan penyucian. Misalnya ucapan mereka (سبوح قدوس) Allah dan (قدوس) adalah menyucikan serta pengagungan bagi-Nya. Demikian juga dikatakan untuk bumi (أرض مقدسة) atau tanah suci. Dengan demikian kalimat ini berarti kami senantiasa menyucikan-Mu dan menjauhkan-Mu dari apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik kepada-Mu. Kami menisbatkan kepada-Mu sifat-sifat yang Engkau miliki, yaitu kesucian dari berbagai kenistaan dan dari apa yang yang dikatakan kepada-Mu oleh orang-orang kafir. Dalam hadis dari Abu Dzar:
"مَا اصْطَفَى اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ"
Artinya: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, ‘Ucapan apa yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu apa yang dipilih oleh Allah bagi para malaikat-Nya; ‘Mahasuci Allah segala puji bagi-Nya.’” (HR. Muslim)
Firman-Nya (إني أعلم مالا تعلمون) menurut Qatadah artinya Allah Ta’ala sudah mengetahui bahwa di antara khalifah itu akan ada para nabi, rasul, kaum yang salih dan para penghuni surga. Imam Al-Qurthubiy dan ulama lainnya menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan keharusan mengangkat pemimpin untuk memutuskan perkara di tengah-tengah umat manusia, mengakhiri pertikaian mereka, menolong orang-orang teraniaya dari yang menzalimi, menegakkan hukum, mencegah berbagai perbuatan keji dan berbagai hal yang penting lainnya yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya pemimpin. Sesuatu menjadikan suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu sendiri merupakan hal wajib pula.
PERMASALAHAN IMAMAH
Imamah itu diperoleh melalui nash, sebagaimana yang dikatakan oleh segolongan ulama ahlu Sunnah terhadap Abu Bakar. Atau melalui pengisyaratan menurut pendapat lainnya. Atau melalui penunjukkan pada akhir masa jabatan kepada orang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan Abu Bakar Ash-Shiddiq terhadap Umar bin Khaththab. Atau dengan menyerahkan permasalahan untuk dimusyawarahkan oleh orang-orang salih, sebagaimana yang pernah dilakukan Umar bin Khaththab. Atau dengan kesepakatan bersama ahlu al-halli wa al-‘aqdi untuk membaitnya, atau denagn baiat salah seorang dari mereka kepadanya dan dengan demikian wajib diikuti oleh mayoritas anggota. Hal tersebut menurut Imam Al-Haramain merupakan ijma’ (consensus). Atau dengan memaksa seseorang menjadi pemimpin untuk selanjutnya ditaati. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perpecahan dan perselisihan, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’iy.
APAKAH HARUS ADA SAKSI ATAS TERBENTUKNYA IMAMAH?
Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat. Di antara mereka ada yang menyatakan bahwasanya hal tersebut tidak disyaratkan. Dan ada juga yang menyatakan, hal itu memang suatu keharusan dan cukup dua orang saksi saja. Pemimpin harus seorang laki-laki, merdeka, dewasa, berakal, muslim, adil, mujtahid, berilmu, sehat jasmani, memahami strategi perang dan berwawasan luas serta berasal dari suku Quraisy, menurut pendapat yang sahih. Namun tidak disyaratkan harus berasal dari keturunan Al-Hasyimiy dan tidak harus seorang ma’shum (terlindungi) dari kesalahan. Hal terakhir berbeda dengan pendapat golongan ekstrim Syi’ah Rafidhah.
JIKA SEORANG IMAM BERBUAT KEFASIKAN, APAKAH IA HARUS DICOPOT ATAU TIDAK?
Mengenai hal ini terdapat perbedaan pendapat, tetapi yang sahih adalah bahwa pemimpin tersebut tidak perlu dicopot. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
"إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ"
Artinya: “Kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata sementara kalian memiliki bukti dari Allah dalam hal itu.”
APAKAH IA BERHAK MENGUNDURKAN DIRI?
Terdapat pula perbedaan pendapat dalam masalah ini. Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu telah mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu’awiyah, tetapi hal itu didasarkan pada suatu alasan, dan karena tindakannya itu ia mendapatkan pujian. Sedangkan pengangkatan dua imam (pemimpin) atau lebih di muka bumi (pada masa yang sama), yang demikian sama sekali tidak diperbolehkan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
"مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ"
Artinya: “Barangsiapa datang kepada kalian, sedangkan perkara kalian telah bersatu, dia bermaksud memecah belah di antara kalian, maka bunuhlah dia oleh kalian di mana pun ia berada.”
Yang demikian itu merupakan pendapat jumhur ulama. Ada pula yang menyatakan ijma’ (consensus) sebagaimana disebutkan oleh beberapa ulama seperti Imam Al-Haramain.
Komentar
Posting Komentar