BISMILLAHIRROHMANIRROHIM
أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ
لَهُۥ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۗ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِن
وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ ١٠٧
Artinya: “Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagi kalian selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.”
Firman-Nya menurut Imam Abu Ja’far bin Jarir adalah “Hai Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, tidaklah engkau mengetahui bahwa Aku pemilik kerajaan dan kekuasaan atas langit dan bumi. Di dalamnya Aku putuskan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Ku, dan di sana Aku mengeluarkan perintah dan larangan, dan juga menasakh, mengganti, serta merubah hukum-hukum yang Aku berlakukan di tengah-tengah hamba-Ku sesuai kehendak-Ku, jika Aku menghendaki.” Kemudian Abu Ja’far mengatakan, ayat itu meski diarahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberitahu keagungan Allah Ta’ala, namun sekaligus hal itu dimaksudkan untuk mendustakan orang-orang Yahudi yang mengingkari nasakh (penghapusan) hukum-hukum Taurat dan menolak kenabian Isa ‘alaihi as-salam dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam karena keduanya datang dengan membawa beberapa perubahan dari sisi Allah Ta’ala untuk merubah hukum-hukum Taurat. Maka Allah Ta’ala memberitahukan kepada mereka bahwa kerajaan dan kekuasaan atas langit dan bumi ini hanyalah milik-Nya, semua makhluk ini berada di bawah kekuasaan-Nya. Mereka harus tunduk dan patuh menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dia mempunyai hak memerintah dan melarang mereka, menasakh, menetapkan dan membuat segala sesuatu menurut kehendak-Nya.
Berkenaan dengan hal tersebut, Ibnu Katsir mengatakan yang membawa orang Yahudi membahas masalah nasakh ini adalah semata-mata karena kekufuran dan keingkarannya terhadap adanya nasakh tersebut. Menurut akal sehat, tidak ada suatu hal pun yang melarang adanya nasakh dalam hukum-hukum Allah Ta’ala, karena Dia dapat memutuskan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, sebagaimana Dia juga berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Yang demikian itu juga telah terjadi di dalam kitab-kitab dan syariat-syariat-Nya yang terdahulu. Misalnya, dahulu Allah Ta’ala membolehkan Nabi Adam mengawinkna putrinya dengan putranya sendiri, tetapi setelah itu Dia mengharamkan hal itu. Dia juga membolehkan Nabi Nuh setelah keluar dari kapal untuk memakan semua jenis hewan, tetapi setelah itu Dia menghapus penghalalan sebagiannya. Selain itu, dulu menikahi dua saudara putri itu diperbolehkan bagi Israil (Nabi Ya’qub) dan anak-anaknya, tetapi hal itu diharamkan di dalam syariat Taurat dan kitab-kitab setelahnya, Dia juga pernah menyuruh Nabi Ibrahim menyembelih putranya, tetapi kemudian Dia menasakhnya sebelum perintah itu dilaksanakan. Allah Ta’ala juga memerintahkan mayoritas Bani Israil untuk membunuh orang-orang di antara mereka yang menyembah anak sapi, lalu Dia menarik kembali perintah pembunuhan tersebut agar tidak memusnahkan mereka.
Di samping itu, masih banyak lagi hal-hal yang berkenaan dengan masalah itu, orang-orang Yahudi sendiri mengakui dan membenarkannya. Dan jawaban-jawaban formal yang diberikan berkenaan dengan dalil-dalil ini, tidak dapat memalingkan sasaran maknanya, karena demikian itulah yang dimaksudkan. Dan sebagaimana yang masyhur tertulis di dalam kitab-kitab mereka mengenai kedatangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan perintah untuk mengikutinya. Hal itu memberikan pengertian yang mengharuskan untuk mengikuti Rasulullah dan bahwa suatu amalan tidak akan diterima kecuali yang didahulukan berdasarkan syariatnya, baik dikatakan bahwa syariat terdahulu itu terbatas sampai pengutusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka yang demikian itu tidak disebut sebagai nasakh. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa syariat itu bersifat mutlak sedangkan syariat Muhammad menasakhkannya. Bagaimanapun adanya, mengikutinya merupakan suatu keharusan, karena beliau datang dengan membawa sebuah kitab yang merupakan kitab terakhir dari Allah Ta’ala.
Dalam hal ini, Allah Ta’ala menjelaskan dibolehkannya nasakh sebagai bantahan terhadap orang-orang Yahudi. Sebagaimana Dia mempunyai kekuasaan tanpa ada yang menandinginya, demikian pula hanya Dia yang berhak memutuskan hukum menurut kehendak-Nya. Ulama secara keseluruhan sepakat membolehkan adanya nasakh dalam hukum-hukum Allah Ta’ala, karena di dalamnya terdapat hikmah yang sangat besar. Dan mereka semua mengakui terjadinya nasakh tersebut. Seorang mufasir, Abu Muslim Al-Ashbahani mengatakan, “Tidak ada nasakh dalam Alquran.” Pendapat Abu Muslim ini sangat lemah dan patut ditolak. Dan sangat mengada-ngada dalam memberikan jawaban berkenaan dengan terjadinya nasakh. Misalnya pendapat mengenai masalah iddah seorang wanita yang berjumlah empat bulan sepuluh hari setelah satu tahun. Dia tidak dapat memberikan jawaban yang dapat diterima. Demikian halnya masalah pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, juga tidak diberikan jawaban sama sekali. Juga penghapusan kewajiban bersabar menghadapi kaum kafir satu lawan sepuluh menjadi satu lawan dua. Dan juga penghapusan kewajiban membayar sedekah sebelum mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Komentar
Posting Komentar