BISMILLAHIRROHMANIRROHIM
وَظَلَّلۡنَا
عَلَيۡكُمُ ٱلۡغَمَامَ وَأَنزَلۡنَا عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَنَّ وَٱلسَّلۡوَىٰۖ كُلُواْ
مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡۚ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَٰكِن كَانُوٓاْ
أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ ٥٧
Artinya: “Dan Kami naungi kalian dengan awan dan Kami turunkan kepada kalian manna dan salwa. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
Firman-Nya (وظللنا عليكم الغمام) artinya, setelah Allah Ta’ala mengingatkan azab yang telah diangkat dari mereka, Dia juga mengingatkan mereka berbagai nikmat yang telah dikaruniakan-Nya kepada mereka. (غمام) jamak dari kata (غمامة) disebut demikian karena ia menutupi langit. Yaitu awan putih yang menaungi mereka dari terik matahari di padang pasir. Sebagaimana yang telah diriwayatkan An-Nasai dan perawi lainnya dari Ibnu Abbas.
Firman-Nya (وأنزلنا عليكم المن) menurut kalangan mufasir, terdapat perbedaan pendapat mengenai makna manna. Menurut Ali bin Thalhah, dari Ibnu Abbas, (المن) itu turun kepada mereka jatuh tepat di atas pohon, lalu mereka mendatanginya pada pagi hari dan memakan darinya sesuai yang dikehendakinya. Mujahid berpendapat, al-manna berarti getah. Sedangkan menurut Ikrimah, al-manna adalah sesuatu yang diturunkan Allah Ta’ala kepada mereka semacam embun yang menyerupai sari buah yang kasar. Kata As-Suddi, mereka mengatakan: “Hai Musa, bagaimana kami bisa hidup di sini, di mana ada makanan?” Maka Allah Ta’ala pun menurunkan al-manna kepada mereka yang jatuh di atas pohon jahe. Maksudnya, bahwa semua penjelasan para mufasir mengenai al-manna itu saling berdekatan. Ada di antara mereka yang menafsirkannya sebagai minuman dan juga yang lainnya. Yang jelas, segala sesuatu yang diberikan Allah Ta’ala kepada Bani Israil, baik berupa makanan maupun minuman dan lain sebagainya, yang mereka peroleh tanpa melalui usaha dan kerja keras.
Jadi al-manna yang sangat terkenal itu jika dimakan tanpa dicampuri apa-apa, maka ia berfungsi sebagai makanan dan manisan. Jika dicampur dengan air, maka ia akan menjadi minuman segar. Dan jika dicampur dengan yang lainnya, ia akan menjadi jenis makanan yang berbeda. Namun bukan hanya itu yang dimaksud oleh ayat di atas. Dalil yang menjadi landasan hal ini adalah hadis yang diriwayatkan dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ
عَبْدِ المَلِكِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«الكَمْأَةُ مِنَ المَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ»
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu’aim] Telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [‘Abdul Malik] dari [‘Amru bin Huraits] dari [Sa’id bin Zaid radliallahu ‘anhu] dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Al Kam-at (cendawan) adalah sejenis manna (sejenis makanan yang diturunkan Allah Ta’ala kepada Bani Israil), airnya mengandung obat bagi penyakit mata.” (HR. Bukhari)
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan sejumlah perawi dalam kitab mereka, kecuali Abu Dawud. At-Tirmidzi mengatakan: “Hadis tersebut hadis sahih.” Dan diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari riwayat Al-Hakam, dari Hasan Al-‘Arani, dari ‘Amr bin Harits.
Sedangkan mengenai kata salwa, Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu Abbas, salwa itu seekor burung yang menyerupai puyuh, mereka makan dari burung-burung tersebut. Menurut Ikriman, salwa adalah seekor burung seperti yang ada di dalam surga, lebih besar dari burung layang-layang atau sejenisnya. Wahab bin Munabbih mengatakan, salwa adalah seekor burung yang banyak dagingnya seperti burung merpati. Burung itu mendatangi mereka dan mereka pun mengambilnya seminggu sekali pada hari Sabtu. Ibnu ‘Athiyyah mengatakan, menurut kesepatakan para mufasir, salwa itu adalah burung. Sedang Al-Hudzali telah melakukan suatu kesalahan dengan menyatakan salwa itu adalah madu.
Firman-Nya (كلوا من رزق ربكم واشكروا له) adalah merupakan perintah yang mengandung makna pembolehan, bimbingan dan penganugerahan.
Firman-Nya (وما ظلمونا ولكن كانوا أنفسهم يظلمون) artinya, kami telah memerintahkan mereka untuk memakan makanan yang telah Kami rezekikan kepada mereka dan mereka dapat mengisi hidupnya untuk beribadah semata sebagaimana firman-Nya dalam Surah Saba’ ayat 15 yang artinya: “Makanlah dari rezeki Rabbmu dan bersyukurlah kepada-Nya.” Namun mereka melanggar dan ingkar. Dengan demikian mereka telah menzalimi diri mereka sendiri, padahal mereka menyaksikan tanda-tanda kekuasaan-Nya, berbagai penjelasan dan mukjizat yang sudah pasti, serta hal-hal yang luar biasa.
Dari keterangan di atas tampak jelas keutamaan para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atas sahabat para nabi lainnya dalam hal kebenaran, keteguhan, dan tidak menyusahkan dalam perjalanan yang mereka lakukan bersama beliau, ataupun di tengah peperangan. Sebagai contoh pada perang Tabuk yang sangat terik dan melelahkan. Mereka tidak meminta hal yang diluar kebiasaan serta tidak meminta pengadaan sesuatu, meskipun hal itu sangat mudah bai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah benar-benar dililit rasa lapar, barulah mereka minta untuk diperbanyak jatah makanan mereka, dengan mengumpulkan semua yang ada pada mereka. Lalu terkumpullah setinggi kambing yang sedang menderum. Selanjutnya beliau berdoa kepada Allah Ta’ala memohon berkah atasnya. Setelah itu beliau menyuruh mereka untuk memenuhi wadah mereka masing-masing. Demikian juga ketika mereka membutuhkan air, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memohon kepada Allah Ta’ala, maka datanglah kepada mereka awan, lalu Dia menurunkan hujan, hingga akhirnya mereka minum dan memberi minum untanya dari air tersebut. Selain itu mereka juga memenuhi tempat minum mereka. Ketika mereka perhatikan, hujan itu tidak melampui rombongan itu. Inilah sikap yang paling sempurna bagi seorang pengikut sabar dalam menghadapi ketentuan Allah Ta’ala dalam mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Komentar
Posting Komentar