مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ
أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ
عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ١٠٦
Artinya: “Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa alas segala sesuatu?”
Asbabun Nuzul ayat ini yaitu: “Bahwa turunnya wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kadang-kadang pada malam hari, tapi beliau lupa pada siang harinya. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat ini sebagai jaminan bahwa wahyu Allah Ta’ala tidak mungkin terlupakan.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ikrimah, yang bersumber dari Ibnu Abbas)
Firman-Nya (ماننسخ من آية), Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Artinya, yang Kami (Allah Ta’ala) gantikan.” Dari Mujahid, Ibnu Juraij meriwayatkan mengenai ayat ini, ia mengatakan: “Kami (Allah Ta’ala) biarkan tulisannya, tetapi kami ubah hukumnya. Hal itu diriwayatkan dari beberapa sahabat Abdullah bin Mas’ud. Menurut As-Suddi, nasakh berarti menarik (menggenggamnya). Sedangkan Ibnu Abi Hatim mengatakan, Yakni menggenggam dan mengangkatnya, seperti firman-Nya (الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة) “Orang yang sudah tuda, baik laki-laki maupun perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya.” Demikian juga firman-Nya (لو كان لابن آدم واديان من ذهب لابتغى لهما ثالثا) “Seandainya Ibnu Adam mempunyai dua lembah emas, niscaya mereka akan mencari lembah yang ketiga.” Ibnu Jarir mengatakan, “Artinya hukum suatu ayat yang Kami (Allah Ta’ala) pindahkan kepada lainnya dan Kami ganti dan ubah, yaitu mengubah yang halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal, yang boleh menjadi tidak boleh dan yang tidak boleh menjadi boleh. Dan hal itu tidak terjadi kecuali dalam hal perintah, larangan, keharusan, mutlaq dan ibahah (kebolehah). Sedangkan ayat-ayat yang berkenaan dengan kisah-kisah tidak mengalami nasikh maupun manshukh. Kata (النسخ) berasalm dari (نسخ الكتاب) yaitu menukil dari suatu naskah ke naskah lainnya. Demikian halnya (نسخ الحكم) berarti penukilan dan pemindahan redaksi ke redaksi yang lain, baik yang dinasakhkan itu hukum maupun tulisannya, karena keduanya tetap saja berkedudukan Mansukh (dinasakh).
Firman-Nya (أو ننسها) bisa dibaca dengan salah satu dari dua bacaan yaitu: (ننسأها) dan (ننسها). (ننسأها) berarti (نؤخرها) (kami akhirkan). Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengemukakan, artinya Allah Ta’ala berfirman, “Ayat-ayat yang Kami rubah atau tinggalkan, tidak Kami ganti.” Sedangkan Mujahid meriwayatkan dari beberapa sahabat Ibnu Mas’ud, artinya Kami tidak merubah tulisannya dan hanya merubah hukumnya saja. Athiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa artinya Kami akhirkan ayat tersebut dan Kami tidak menghapusnya.” Adh-Dhahhak mengatakan, “Yakni nasikh dari yang Mansukh.” Abd Ar-Razak meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah mengenai firman-Nya ini, ia mengatakan, “Allah Ta’ala menjadikan Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lupa dan menasakh ayat sesuai dengan kehendak-Nya.” Ubaid bin Umair mengatakan ini artinya: “Kami mengangkatnya dari kalian.” Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, “Umar bin Al-Khaththab mengatakan, ‘Orang yang terbaik bacaannya di antara kami adalah Ubay dan yang paling ahli hukum adalah Ali, dan kami akan meninggalkan kata-kata Ubay, di mana ia mengatakan, ‘Aku tidak akan meninggalkan sesuatu apapun yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal Allah Ta’ala berfirman dalam ayat ini.
Firman-Nya (نأت بخير منما أو مثلها), Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas mengatakan, “Yaitu memberi manfaat yang lebih baik bagi kalian dan lebih ringan. Ini perihal hukum yang berkaitan dengan kepentingan para mukallaf. Qatadah mengatakan, “Yaitu ayat yang di dalamnya mengandung pemberian keringanan, rukhshah, perintah dan larangan.”
Komentar
Posting Komentar