BISMILLAHIRROHMANIRROHIM
وَلَن
يَتَمَنَّوۡهُ أَبَدَۢا بِمَا قَدَّمَتۡ أَيۡدِيهِمۡۚ وَٱللَّهُ عَلِيمُۢ بِٱلظَّٰلِمِينَ
٩٥
Artinya: “Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya karena kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orangorang yang aniaya.”
Ayat ini berarti, Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu tentang mereka, bahkan pengingkaran mereka terhadap (ajakan Rasul). Seandainya mereka menginginkan kematian itu pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajaknya niscaya tidak akan ada di muka bumi ini seorang pun dari kaum Yahudi, melainkan akan mati. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Seandainya orang-orang Yahudi itu menginginkan kematian, niscaya mereka akan disambar kematian.” Seluruh sanad ini sahih sampai Ibnu Abbas. Demikian itulah penafsiran yang dikemukakan Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini, yaitu ajakan untuk bermubahalah (adu doa) untuk mengetahui kelompok mana yang berdusta, baik kelompok kaum muslimin ataupun Yahudi. Hal yang sama dinyatakan pula oleh Ibnu Jarir dari Qatadah, Abu Al-‘Aliyah dan Rabi’ bin Anas.
Ketika orang-orang Yahudi terlaknat itu mengatakan bahwa mereka itu anak Allah Ta’ala dan kekasih-Nya serta mengatakan: “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi dan Nasrani,” maka mereka diajak bermubahalah dan mendoakan keburukan kepada salah satu kelompok yang berdusta, baik itu kelompok muslim atau kelompok Yahudi. Setelah mereka menolak ajakan tersebut, maka setiap orang mengetahui bahwa mereka itu zalim, karena jika mereka benar-benar teguh dengan pengakuannya itu, pasti mereka menjadi kelompok yang paling dahulu tampil untuk melakukan mubahalah. Ketika mereka menunda-nunda, maka terungkaplah kebohongan mereka. Peristiwa itu sama dengan peristiwa pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak utusan kaum Nasrani Najran untuk bermubahalah setelah hujjah tegak atas mereka dalam perdebatan, (sementara mereka semakin) sombong dan ingkar, maka Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Ali ‘Imraan ayat 61 yang artinya: “Siapa yang membantahmu ten tang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istriistri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian; kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”
Setelah orang-orang Nasrani mendengar ajakan itu, lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Demi Allah Ta’ala, jika kalian bermubahalah dengan Nabi ini, niscaya kalian akan musnah dalam sekejab.” Pada saat itu, mereka langsung cenderung berdamai dan menyerahkan jizyah (pajak) dengan patuh, dalam keadaan hina. Kemudian Abu Ubaidah bin Jarrah diutus sebagai pengawas bagi mereka. Mubahalah ini disebut tamanni (pengharapan/keinginan), karena kedua belah pihak yang merasa benar ingin agar Allah Ta’ala membinasakan kelompok yang batil, apalagi jika mereka mempunyai hujjah untuk menjelaskan kebenaran dan keunggulannya. Dan mubahalah ini dilakukan dalam bentuk memohon kematian, karena kehidupan dunia bagi orang-orang Yahudi sangat mulia dan berharga, sementara mereka mengetahui tempat kembali mereka yang menyeramkan setelah kematian.
Komentar
Posting Komentar