BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ فَإِذَآ أَفَضۡتُم مِّنۡ عَرَفَٰتٖ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ عِندَ ٱلۡمَشۡعَرِ ٱلۡحَرَامِۖ وَٱذۡكُرُوهُ كَمَا هَدَىٰكُمۡ وَإِن كُنتُم مِّن قَبۡلِهِۦ لَمِنَ ٱلضَّآلِّينَ ١٩٨
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rizki basil perniagaan) dari Rabb-mu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Pada zaman Jahiliyah terkenal pasar-pasar yang bernama Ukash, Mijnah dan Dzul Majaz. Kaum Muslimin merasa berdosa apabila di musim haji berdagang di pasar itu. Mereka bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal itu. Maka turunlah ayat ini yang membenarkan mereka berdagang pada musim haji.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang bersumber dari Ibnu Abbas)
Asbabun Nuzul lainnya adalah: “Abu Umamah At-Taimi bertanya kepada Ibnu Umar tentang menyewakan kendaraan sambil menunaikan ibadah haji. Ibnu Umar menjawab: “Pernah seorang laki-laki bertanya seperti itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang seketika itu juga turun ayat ini. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil orang itu dan bersabda: “Kamu termasuk orang yang menunaikan ibadah haji.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, Al-Hakim dan lain-lain, yang bersumber dari Abu Umamah At-Taimi)
Firman-Nya (ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضلا من ربكم) Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: “Ukadz, Majinnah, dan Dzulmajaz adalah pasar pada masa Jahiliyah. Mereka merasa berdosa untuk berdagang pada musim haji. Maka turunlah ayat ini, yaitu dalam musim haji. Hal yang sama juga diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, Said bin Manshur dan yang lainnya, dari Sufyan bin `Uyainah. Dan Abu Dawud dan yang lainnya juga meriwayatkan dari Yazid bin Abu Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Mereka sangat takut untuk berjual beli dan berdagang pada musim haji, mereka mengatakan bahwa musim haji adalah hari-hari untuk berdzikir. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat ini.
Imam Ahmad meriwayatkan, dari Abu Umamah At-Taimi, ia menceritakan, pernah kukatakan kepada Ibnu Umar, “Sungguh, kami ini penjual jasa, apakah kami termasuk orang yang berhaji?” Ibnu Umar menjawab, “Bukankah kalian melakukan tawaf di Baitullah, datang ke Arafah, melempar jumrah, dan mencukur rambut kalian?” “Benar,” jawab kami. Lebih lanjut Ibnu Umar berkata, “Ada seseorang datang kepada Nabi, lalu ia menanyakan sesuatu yang engkau tanyakan kepadaku, dan beliau tidak menjawabnya sehingga turun Jibril kepada beliau dengan membawa ayat ini. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya seraya bersabda, ‘Ya, kalian boleh menunaikan ibadah haji.’”
Firman-Nya (فإذا أفضتم من عرفات فاذكروا الله عند المشعر الحرام) ditashrifkannya kata Arafaat meskipun menjadi sebutan nama untuk jenis muannats (perempuan), karena pada dasarnya kata itu merupakan jamak, seperti misalnya, muslimaat dan mukminaat, dijadikan nama untuk tempat tertentu, karena itu ditimbang menurut aslinya maka-ditashrifkan. Demikian yang menjadi pilihan Ibnu Jarir. Arafah adalah tempat wuquf dalam menunaikan ibadah haji. Dan wuquf itu sendiri merupakan amalan utama dalam ibadah haji. Oleh karena itu diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para penyusun kitab As-Sunan dengan sanad sahih, dari Abdur Rahman bin Ya’mar ad-Daili, katanya, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"الْحَجُّ عَرَفَاتٌ -ثَلَاثًا -فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ، فَقَدْ أَدْرَكَ. وَأَيَّامُ مِنًى ثَلَاثَةٌ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ، وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ"
Artinya: “Haji itu Arafah (beliau mengucapkannya tiga kali). Barangsiapa sempat wukuf di Arafah sebelum terbit fajar, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan haji. Dan menetap di Mina tiga hari. Barangsiapa yang terburu-buru sehingga hanya menetap dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang mengakhirkannya, maka tiada dosa pula baginya.” (HR. Ahmad 4/335, Abu Dawud 1949, At-Tirmidzi 2975, An-Nasai 5/264 dan Ibnu Majah 3015)
Waktu wuquf berawal dari sejak tergelincirnya matahari pada hari Arafah (Yaitu tanggal 9 Dzulhijjah) sampai terbit fajar pada hari kedua yaitu hari penyembelihan kurban, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwukuf pada haji wada’ setelah Salat Dzuhur sampai terbenamnya matahari seraya bersabda:
"لتأخُذوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ"
Artinya: “Hendaklah kalian mencontoh manasik dariku.” (HR. Muslim 1297)
Dan dalam hadis tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
"فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ فَقَدْ أَدْرَكَ"
Artinya: “Barangsiapa sempat wuquf di Arafah sebelum terbit fajar, maka ia telah mendapatkan haji.”
Yang demikian itu merupakan pendapat Malik, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi’i rahimahumullah. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa waktu wuquf itu berawal dari sejak hari pertama Arafah, berlandaskan pada hadis Asy-Sya’abi, dari Urwah bin Mudharas bin Haritsah bin Laam Ath-Tha’i, ia menceritakan, aku pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Muzdalifah ketika beliau berangkat salat, lalu aku berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku datang dari gunung Tha’i, unta kendaraanku benar-benar telah letih dan dariku pun juga sudah merasa kepayahan. Demi Allah, aku tidak meninggalkan gunung, melainkan aku telah berwukuf padanya, apakah hajiku itu sah?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab:
"من شَهِد صَلَاتَنَا هَذِهِ، فَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ، وَقَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلًا أَوْ نَهَارًا، فَقَدْ تَمَّ حَجّه، وَقَضَى تَفَثَه"
Artinya: “Barangsiapa yang mengikuti Salat kami, lalu ia berwuquf bersama kami sehingga kami pergi, dan sebelum itu ia sudah mengerjakan wuquf di Arafah pada malam atau siang hari, maka ia telah menyempurnakan hajinya dan menyelesaikan hajatnya.” (HR. Ahmad 4/15, Abu Dawud 1950, At-Tirmidzi 891, An-Nasai 5/263, Ibnu Majah 3016. Dan gunung yang berada di tengah-tengah Arafah itu disebut Jabal Rahmah)
Ibnu Juraij meriwayatkan, dari Miswar bin Makhramah katanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkhutbah kepada kami, ketika itu beliau berada di Arafah. Beliau memulai dengan pujian kepada Allah, kemudian bersabda:
أَمَّا بَعْدُ -فَإِنَّ هَذَا الْيَوْمَ الحجَ الْأَكْبَرَ، أَلَا وَإِنَّ أهلَ الشِّرْكِ وَالْأَوْثَانِ كَانُوا يَدْفَعُونَ فِي هَذَا الْيَوْمِ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، إِذَا كَانَتِ الشَّمْسُ فِي رُؤُوسِ الْجِبَالِ، كَأَنَّهَا عَمَائِمُ الرِّجَالِ فِي وُجُوهِهَا، وَإِنَّا نَدْفَعُ بَعْدَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، وَكَانُوا يَدْفَعُونَ مِنَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ بَعْدَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، إِذَا كَانَتِ الشَّمْسُ فِي رُؤُوسِ الْجِبَالِ كَأَنَّهَا عَمَائِمُ الرِّجَالِ فِي وُجُوهِهَا وَإِنَّا نَدْفَعُ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، مُخَالفاً هَدْيُنَا هَدْي أَهْلِ الشِّرْكِ
Artinya: “Amma Ba’du [jika berkhutbah beliau biasa mengucapkan amma ba’du] sesungguhnya hari ini adalah haji akbar (besar). Ketahuilah bahwa orang orang musyrik dan para penyembah berhala pergi beranjak pada hari ini sebelum matahari terbenam, jika matahari berada di atas puncak gunung, seolah-olah ia merupakan serban (ikat kepala) orang laki-laki pada wajah gunung itu. Sedangkan kita pergi setelah matahari terbenam. Mereka bertolak dari Masy’arilharam setelah matahari terbit, jika matahari berada di atas gunung, seolah-olah ia merupakan serban laki-laki pada wajahnya. Sedangkan kita bertolak sebelum matahari terbit, tata cara ibadah kita berbeda dengan tata cara ibadah orang-orang musyrik.” (Demikian diriwayatkan Ibnu Mardawaih dengan lafaz di atas. Juga diriwayatkan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2/277, dari Ibnu Juraij. Al-Hakim mengatakan, hadis ini sahih menurut persyaratan Al-Bukhari dan Muslim, meskipun keduanya tidak meriwayatkannya)
Dan dalam hadis Jabir bin Abdullah yang cukup panjang yang terdapat dalam kitab Sahih Muslim, disebutkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih terus wuquf di Arafah sehingga matahari terbenam dan warna langit mulai menguning sedikit hingga bulatan matahari pun terbenam. Dan beliau membonceng Usamah bin Zaid di belakangnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertolak dan menarik tali kekang Qaswa’ (nama unta beliau) sampai kepalanya nyaris mengenai pelananya. Dan beliau memberi aba-aba dengan tangan kanannya seraya bersabda, “Wahai sekalian manusia, tenanglah tenanglah.” Setiap kali beliau melewati gunung, beliau mengendurkan tali kekangnya supaya untanya itu dapat naik hingga beliau sampai di Muzdalifah. Dan di sana beliau mengerjakan Salat Maghrib dan Isya’ (jama’) dengan satu azan dan dua iqamah. Beliau bertasbih sejenak di antara kedua Salat itu. Kemudian beliau tidur hingga terbit fajar, lalu beliau pun Salat Subuh ketika tampak fajar Subuh dengan azan dan iqamah. Setelah itu beliau menaiki Qaswa’ kembali hingga sampai di Masy’arilharam, lalu beliau menghadap kiblat dan berdoa kepada Allah Ta’ala seraya bertakbir, bertahlil, dan mentauhidkan-Nya. Beliau masih terus berdiam diri hingga langit benar-benar menguning, lalu beliau pergi sebelum matahari terbit.
Dan dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, ia pernah ditanya bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan ketika beliau beranjak pergi? Ia menjawab, “Beliau berjalan pelan, jika menemukan tanah lapang, beliau berjalan lebih cepat.” Abu Ishak As-Subai’i meriwayatkan, dari Amr bin Maimun, ia menceritakan, aku pernah bertanya kepada Abdullah bin Umar mengenai Masy’aril-haram, tetapi ia diam saja hingga ketika kendaraan kami turun ke Muzdalifah ia berujar, “Mana orang yang bertanya mengenai Masy’arilharam tadi? Inilah Masy’arilharam itu.” Abdur Razak menceritakan, Ibnu Umar berkata: “Masy’arilharam itu adalah Muzdalifah secara keseluruhan.” Hisyam meriwayatkan, dari Ibnu Umar, bahwa ketika ditanya mengenai firman Allah Ta’ala ini maka ia menjawab: “Masy’arilharam adalah gunung ini dan sekitarnya.” Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Mujahid, As-Suddi, Rabi’ bin Anas, Al-Hasan Al-Bashri, dan Qatadah. Mereka semua mengatakan, “Masy arilharam itu terletak di antara dua gunung.”
Sehubungan dengan hal tersebut, Ibnu Katsir katakan, “al-masya’ir” berarti tanda-tanda yang jelas. Muzdalifah disebut Masy’arilharam karena berada di dalam wilayah tanah haram (suci). Apakah wuquf di Masy’arilharam itu merupakan rukun haji, yang tidak akan sah haji itu kecuali dengannya, sebagaimana pendapat beberapa kelompok ulama salaf dan sebagian sahabat Syafi’i, di antaranya Al-Qaffal dan Ibnu Khuzaimah, berdasarkan hadis Urwah bin Midhras. Ataukah ia suatu hal yang wajib, sebagaimana hal itu menjadi salah satu pendapat Imam Syafi’i, sehingga siapa tidak mengerjakannya wajib membayar dam. Ataukah merupakan perkara sunnah yang bila ditinggalkan tidak ada kewajiban apa-apa, sebagaimana yang dianut oleh ulama lainnya? Mengenai hal ini terdapat tiga pendapat ulama.
Firman-Nya (واذكروا كما هداكم) maksudnya merupakan peringatan bagi mereka atas nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada mereka berupa hidayah, penjelasan, dan bimbingan kepada syi’ar-syi’ar haji menurut tuntunan Nabi Ibrahim ‘alaihi as-salam. Firman-Nya (وأن كنتم من قبله لمن الضالين) ada yang mengatakan, sebelum datang petunjuk itu dan sebelum diturunkannya Al-Qur’an, serta sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semua pengertian itu benar dan sating berkaitan.
Komentar
Posting Komentar