BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
لَّا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِن طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمۡ تَمَسُّوهُنَّ أَوۡ تَفۡرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلۡمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلۡمُقۡتِرِ قَدَرُهُۥ مَتَٰعَۢا بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٢٣٦
Artinya: “Dan ‘ketahuilah bahwa Allah Mahapengampun lagi Mahapenyantun. “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Allah Ta’ala membolehkan laki-laki untuk menceraikan istri setelah menikah dan belum bercampur dengannya. Ibnu Abbas, Thawus, Ibrahim An-Nakha’i, dan Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: “Al-Massu berarti menikah.” Bahkan si suami diperbolehkan untuk menceraikannya sebelum bercampur dengannya dan sebelum penentuan maharnya, jika si istri tersebut belum ditentukan maharnya, meskipun hal itu dapat mengakibatkan hatinya terluka. Oleh karena itu Allah Ta’ala menyuruh memberinya mut’ah (pemberian), yaitu sebagai ganti dari sesuatu yang hilang dari dirinya. Mut’ah itu berupa sesuatu yang diberikan mantan suaminya yang ukurannya sesuai dengan kemampuannya.
Abu Hanifah berpendapat, jika pasangan suami istri berselisih pendapat mengenai ukuran mut’ah tersebut, maka mantan suaminya itu berkewajiban memberikan setengah dari maharnya. Dalam qaul jadid-nya Imam Syafi’i mengatakan: “Seorang suami tidak boleh dipaksa untuk memberikan dalam ukuran tertentu tetapi minimal tidak boleh kurang dari apa yang disebut mut’ah (pemberian yang menyenangkan).” Para ulama juga berbeda pendapat, apakah mut’ah itu harus diberikan kepada setiap wanita yang diceraikan, ataukah hanya wajib diberikan kepada wanita yang dicerai dan belum dicampuri serta yang belum ditentukan maharnya. Dalam hal itu terdapat beberapa pendapat.
Pertama, bahwa mut’ah itu harus diberikan kepada setiap wanita yang diceraikan. Pendapat ini didasarkan pada keumuman firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 241 yang artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” Juga berdasarkan firman-Nya dalam Surah Al-Ahzaab ayat 28 yang artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kamu menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya diberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. ” Sedangkan mereka sudah dicampuri dan sudah pula ditentukan maharnya. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Sa’id bin Jubair, Abu Aliyah, Al-Hasan Al-Bashri, dan merupakan salah satu pendapat Asy-Syafi’i. Diantara mereka ada yang menjadikan pendapat ini sebagai qaul jadid yang sahih.
Kedua, mut’ah itu hanya wajib diberikan kepada wanita yang diceraikan belum dicampuri, meskipun sudah ditentukan maharnya. Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ahzaab ayat 49 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita-wanita yang beriman, kemudian menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” Dan telah diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam kitab sahihnya dari Sahal bin Said dan Abu Usaid, bahwa keduanya pernah menceritakan:
تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَيْمَةَ بِنْتَ شَرَاحِيلَ، فَلَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَيْهِ بَسَطَ يَدَهُ إِلَيْهَا فَكَأَنَّمَا كَرِهَتْ ذَلِكَ، فَأَمَرَ أَبَا أَسِيدٍ أَنْ يُجَهِّزَهَا وَيَكْسُوَهَا ثَوْبَيْنِ رازِقِيَّين
Artinya: “Rasulullah menikahi Umaimah binti Syurahbil. Ketika dipertemukan dengan beliau, beliau merentangkan tangannya kepadanya, dan seolah-olah Umaimah tidak menyukai hal itu. Maka beliau menyuruh Abu Usaid untuk menyiapkan dan memberikan kepadanya dua pakaian berwarna biru.” (HR. Al-Bukhari 5226)
Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa mut’ah (pemberian) itu hanya wajib diberikan kepada wanita yang diceraikan dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya. Jika sudah dicampuri, maka wajib diberi mut’ah yang nilainya sama dengan mahar, jika mahar belum diserahkan. Dan jika mahar sudah ditentukan, lalu diceraikan sebelum dicampuri, maka mantan suaminya itu harus membayar setengah dari mahar yang sudah ditentukan itu. Dan jika sudah dicampuri, maka ia wajib membayar mahar itu secara keseluruhan, sebagai pengganti mut’ah. Karena sesungguhnya wanita yang berhak menerima mut’ah hanyalah wanita yang belum ditentukan maharnya dan belum dicampuri. Dan inilah yang diisyaratkan oleh ayat di atas, yang mengharuskan pemberian mut’ah. Ini adalah pendapat Ibnu Umar dan Mujahid. Di antara ulama ada yang menyunahkan pemberian mut’ah kepada setiap wanita yang dicerai kecuali wanita “mufawwidhah” (yang memasrahkan jumlah maharnya) dan sudah dicerai sebelum dicampuri. Dan pendapat tersebut tidak ditolak. Dan makna itu pula yang dikandung oleh ayat dalam surat Al-Ahzab. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman dalam ayat ini.
Komentar
Posting Komentar