BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
حَٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلۡوُسۡطَىٰ وَقُومُواْ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ ٢٣٨
Artinya: “Peliharalah segala salat(mu), dan (peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyu’.”
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salat zuhur di waktu hari sangat panas (pada waktu itu umumnya salat dilaksanakan di alam terbuka ketika panas matahari terasa sangat menyengat). Salat seperti itu sangat berat dirasakan oleh sahabat-sahabatnya. Maka turunlah ayat ini yang menyuruh melaksanakan salat bagaimanapun beratnya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhari di dalam Tarikhnya, Abu Dawud, Al-Baihaqi dan Ibnu Jarir yang bersumber dari Zaid bin Tsabit)
Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salat zuhur di waktu hari sangat panas. Di belakang beliau tidak lebih dari satu atau dua saf saja yang mengikutinya. Kebanyakan di antara mereka sedang tidur siang, ada pula yang sedang sibuk berdagang. Maka turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasai dan Ibnu Jarir, yang bersumber dari Zaid bin Tsabit)
Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada orang-orang yang suka bercakap-cakap dengan kawan yang ada di sampingnya di saat mereka salat. Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan supaya diam pada waktu sedang salat, dan melarang bercakap-cakap.” (Diriwayatkan oleh Imam yang enam; Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasai dan Ibnu Majah serta yang lainnya, yang bersumber dari Zaid bin Arqam)
Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa ada orang-orang yang bercakap-cakap di waktu salat, dan ada pula yang menyuruh temannya menyelesaikan dulu keperluannya (di waktu sedang salat). Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan supaya khusyuk manakala salat.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Mujahid)
Allah Ta’ala memerintahkan untuk memelihara semua salat pada waktunya masing-masing, memelihara ketentuannya dan kamu mengerjakan-nya tepat pada waktunya. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Masud, ia menceritakan:
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: "الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا". قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: "الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ". قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: "بِرُّ الْوَالِدَيْنِ". قَالَ: حَدَّثَنِي بِهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَوِ استزدتُه لَزَادَنِي
Artinya: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Beliau menjawab: ‘Salat pada waktunya.’ Lalu kutanyakan lagi: ‘Kemudianapa lagi? Beliau menjawab: ‘Jihad di jalan Allah.’ ‘Kemudian apa lagi?’ tanyaku lebih lanjut. Beliau menjawab: ‘Berbuat baik kepada ibu bapak.’” Ibnu Masud mengatakan: “Semua itu disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. kepadaku. Dan seandainya aku menambahkan pertanyaan, niscaya beliau akan menambah pula jawabannya.” (HR. Al-Bukhari 5970, 527 dan Muslim 85)
Allah Ta’ala memberi kekhususan dengan memberikan penekanan pada salat wustha. Para ulama, baik Salaf maupun Khalaf berbeda pendapat, tentang apa yang dimaksud dengan salat wustha di sini. Pendapat pertama, ada yang mengatakan bahwa salat wustha itu adalah Salat Subuh. Pendapat ini disebut oleh Imam Malik dalam bukunya Al-Muwattha’, dari Ali, dari Ibnu Abbas. Hasyim, Ibnu `Ullayah, Ghundar, Ibnu Abi Adi, Abdul Wahab, Syarik, dan ulama lainnya, dari Auf Al-A’rabi, dari Abu Raja’ Al-Atharidi, ia berkata, aku pernah mengerjakan Salat Subuh di belakang Ibnu Abbas, di dalamnya ia membaca qunut dengan mengangkat kedua tangannya, kemudian mengucapkan: “Inilah salat wustha yang kita diperintahkan untuk mengerjakannya dengan khusyu’ (qunut).” Demikian yang diriwayatkan Ibnu Jabir.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah Salat Subuh di masjid Bashrah, lalu ia membaca qunut sebelum ruku’. Dan ia mengatakan; “Inilah salat wustha yang, disebutkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah. Masih menurut Ibnu Jarir, dari Jabir bin Abdullah, ia mengatakan, “Salat wustha adalah Salat Subuh.” Juga diriwayatkan Ibnu Abi Hatim, dari Ibnu Umar, Abu Umamah, Anas, Abu Aliyah, Ubaid bin Umair, Atha’ Al-Khurasani, Mujahid, Jabir bin Zaid, Ikrimah, dan Rabi’ bin Anas. Dan itu pula yang ditetapkan Imam Syafi’i rahimahullahu berdasarkan pada firman Allah Ta’ala. Menurutnya, qunut itu dibaca pada Salat Subuh.
Pendapat kedua, ada juga yang mengatakan bahwa salat wustha adalah Salat Zuhur. Imam Ahmad meriwayatkan, dari Zaid bin Tsabit, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakan Salat Zuhur pada tengah hari setelah matahari tergelincir. Beliau belum pernah mengerjakan suatu salat yang lebih menekankan kepada para sahabatnya dari salat tersebut, lalu turunlah ayat ini. Dan Zaid bin Tsabit mengatakan: “(Karena) sesungguhnya sebelum Salat Zuhur itu ada dua salat (yaitu Salat Isya dan Subuh) dan sesudahnya pun ada dua salat (yaitu Ashar dan Maghrib).” Hadis tersebut juga diriwayatkan Abu Dawud dalam bukunya Sunan Abi Dawud, dari Syu’bah. Yang demikian itu juga menjadi pendapat Urwah bin Zubair, Abdullah bin Syidad bin Al-Haad, dan sebuah riwayat dari Abu Hanifah rahimahullahu.
Pendapat ketiga, menyatakan bahwa salat wustha itu adalah Salat Ashar. At-Tirmidzi dan Baghawi rahimahullahu mengatakan, itu adalah pendapat terbanyak dari ulama kalangan sahabat. Al-Qadhi Al-Mawardi mengatakan, hal tersebut merupakan pendapat mayoritas tabi’in, sedangkan Al-Hafizh Abu Umar bin Abdul Barr mengatakan: “Ini merupakan pendapat mayoritas ahlul atsar dan mazhab Ahmad bin Hanbal.” Lebih lanjut Al-Qadhi Al-Mawardi dan Asy-Syafi’i mengatakan, Ibnu Mundzir mengemukakan: “Dan itulah yang sahih dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad, dan menjadi pilihan Ibnu Habib Al-Maliki rahimahullahu.” Beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:
Pertama, Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda pada peristiwa Ahzab:
"شَغَلُونَا عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى، صَلَاةِ الْعَصْرِ، مَلَأَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَبُيُوتَهُمْ نَارًا"
Artinya: “Mereka (orang-orang kafir) telah menyibukkan kami dari salat wustha, yaitu salat Ashar. Semoga Allah Ta’ala memenuhi hati dan rumah mereka dengan api.” Kemudian beliau mengerjakannya di antara Maghrib dan Isya’.” (HR. Ahmad 1/81. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Syaikhan (Al-Bukhari dan Muslim), Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’i dan beberapa penulis kitab Al-Musnad, As-Sunan dan Ash-Sahih. Hal itu diperkuat dengan perintah untuk memelihara salat tersebut)
Kedua, dalil lainnya ialah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis sahih riwayat Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
مَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ فَكَأَنَّمَا وَتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang meninggalkan Salat Ashar, maka seakan-akan ia telah dirampas keluarga dan hartanya.” (HR. Muslim 626)
Ketiga, masih dalam hadis sahih dari Buraidah bin Al-Hashib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
"بَكِّرُوا بِالصَّلَاةِ فِي يَوْمِ الْغَيْمِ، فَإِنَّهُ مَنْ تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ"
Artinya: “Segerakanlah Salat Ashar pada hari yang penuh mendung, karena barangsiapa meninggalkan Salat Ashar, maka terhapuslah semua amalnya.” (HR. Al-Bukhari 553 dan Ibnu Majah 694)
Keempat, Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Nadrah Al-Ghifari, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakan Salat Ashar bersama kami di salah satu lembah yang bernama Al-Hamish, kemudian beliau bersabda:
"إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ صَلَاةَ الْعَصْرِ عُرِضَت عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ فَضَيَّعُوهَا، أَلَا وَمَنْ صَلَّاهَا ضُعِّف لَهُ أَجْرُهُ مَرَّتَيْنِ، أَلَا وَلَا صَلَاةَ بَعْدَهَا حَتَّى تَرَوُاالشَّاهِدَ"
Artinya: “Sesungguhnya salat ini pernah ditawarkan kepada orang-orang sebelum kalian, namun mereka menyia-nyiakannya. Ketahuilah, barangsiapa mengerjakannya, maka akan dilipatgandakan pahalanya dua kali lipat. Dan ketahuilah, tidak ada salat setelahnya hingga kalian melihat saksi (Matahari tenggelam, alam mulai gelap.)” (HR. Muslim 830 dan An-Nasa’i 1/259)
Kelima, hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, dari Abu Yunus, seorang budak Aisyah, ia menceritakan, Aisyah pernah menyuruhku menulis sebuah mushaf, ia menuturkan:
أَمَرَتْنِي عَائِشَةُ أَنْ أَكْتُبَ لَهَا مُصْحَفًا، قَالَتْ: إِذَا بَلَغْتَ هَذِهِ الْآيَةَ: {حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى} فَآذِنِّي. فَلَمَّا بَلَغْتُهَا آذَنْتُهَا، فَأَمْلَتْ عَلَيَّ: "حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَصَلَاةِ الْعَصْرِ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ" قَالَتْ: سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Jika sudah sampai pada ayat: “Peliharalah semua salat, dan peliharalah salat wustha” maka beritahu aku.” Ketika sampai pada ayat tersebut, aku pun memberitahunya, lalu beliau mendiktekan kepadaku, “Peliharalah semua salat, dan peliharalah salat wustha, yaitu Salat Ashar dan berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyu’.”) Aisyah menuturkan, aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Ahmad 6/73 dan Muslim 629, dari Yahya bin Yahya, dari Malik)
Keenam, diriwayatkan juga oleh Imam Malik, dari Zaid bin Aslam, dari Amr bin Rafi’, ia menceritakan:
كُنْتُ أَكْتُبُ مُصْحَفًا لِحَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِذَا بَلَغْتَ هَذِهِ الآية فآذني: {حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى} فَلَمَّا بَلَغْتُهَا آذَنْتُهَا. فَأَمْلَتْ عَلَيَّ: "حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَصَلَاةِ الْعَصْرِ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ"
Artinya: “Aku pernah menulis sebuah mushaf untuk Hafshah, istri Nabi, lalu Hafshah berkata: ‘Jika sudah sampai pada ayat ini: “Peliharalah semua salat, dan peliharalah salat wustha” maka beritahukanlah aku.” Ketika sampai ayat tersebut, aku pun memberitahukannya, lalu Hafshah mendiktekan kepadaku: “Peliharalah semua salat, dan peliharalah salat wustha, yaitu salat Ashar dan berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyu’.” (HR. Malik dalam Al-Muwattha’ 1/139)
Menurut orang yang menentang pendapat ini adalah bahwa beliau meng-athafkan (menghubungkan/menggabungkan) Salat Ashar pada salat wustha dengan “wawu ‘athaf” (huruf “wawu” yang berfungsi menggabungkan kata kalimat), yang menunjukan adanya perbedaan (antara ma’tuf dan ma’tuf ‘alaiHi) Hal ini menunjukan bahwa salat Wustha bukanlah Salat Ashar. Sanggahan untuk pendapat mereka ini dapat dijawab melalui beberapa sisi.
Pertama, jika hal itu diriwayatkan dengan anggapan bahwa ia merupakan kalimat berita, maka hadis Ali berkedudukan lebih sahih dan lebih jelas darinya. Karena kemungkinan huruf “wawu” (dan) dalam ayat tersebut berkedudukan sebagai “wawu zaidah” (wawu tambahan), seperti firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-An’aam ayat 55 yang artinya: “Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an, (supaya jelas jalan orang-orang shaleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” Dan juga firman-Nya dalam Surah Al-An’aam ayat 75 yang artinya: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) dilangit dan di bumi. Dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” Atau huruf “wawu” (dan) pada ayat itu berkedudukan untuk menghubungkan dan bukan dzat. Misalnya adalah finnan Allah Ta’ala dalam Surah Al-Ahzaab ayat 40 yang artinya: “Tetapi ia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan penutup para nabi.” Juga firman-Nya dalam Surah Al-A’la ayat 1-4 yang artinya: “Sucikanlah nama Rabbmu yang Mahatinggi, yang menciptakan dan yang menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) serta memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan.” Dan ayat-ayat yang serupa dan jumlahnya cukup banyak. Seorang penyair berujar:
إِلَى الْمَلِكِ الْقَرْمِ وَابْنِ الْهُمَامِ ... وَلَيْثِ الْكَتِيبَةِ فِي الْمُزْدَحَمِ ...
Artinya: “Kepada raja yang agung, anak orang yang berkuasa. Harimau dalam barisan perang, bila perang berkobar.”
Sibawaih tokoh dalam Ilmu Nahwu, membolehkan ucapan seseorang:
مَرَرْتُ بِأَخِيكَ وَصَاحِبِكَ
Artinya: “Aku berjumpa dengan saudaramu yang juga temanmu.” Dengan demikian, teman yang dimaksudkan di sini adalah saudara itu sendiri.
As-Sunnah telah menetapkan bahwa salat wustha adalah Salat Ashar. Maka jelaslah pengertian itu kembali kepadanya.
Firman-Nya (وقوموا لله قانتين) yakni dengan merendahkan diri dan tenang di hadapan-Nya. Yang demikian itu mengharuskan tidak berbicara dalam salat, karena bertentangan dengan kekhusyu’an. Oleh karena itu’, tatkala tidak menjawab salam Ibnu Mas’ud, karena beliau sedang menjalankan salat, beliau memberikan alasan dengan bersabda:
"إِنَّ فِي الصَّلَاةِ لَشُغْلًا"
Artinya: “Sesungguhnya dalam salat itu benar-benar terdapat kesibukan.” (Muttafaqun alaih).
Sedangkan dalam Kitab Sahih Muslim diriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Mu’awiyah bin Hakam Al-Sulami ketika ia berbicara dalam salat:
"إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إنما هي التسبيح والتكبير وذكر الله"
Artinya: “Sesungguhnya di dalam salat ini tidak diperbolehkan sedikit pun dari pembicaraan manusia. Salat itu adalah tasbih, takbir, dan dzikir kepada Allah.” (HR. Muslim 537)
Komentar
Posting Komentar