BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
فَإِنۡ خِفۡتُمۡ فَرِجَالًا أَوۡ رُكۡبَانٗاۖ فَإِذَآ أَمِنتُمۡ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمۡ تَكُونُواْ تَعۡلَمُونَ ٢٣٩
Artinya: “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (salatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Firman-Nya (فإن خفتم فرجالا أو ركبانا ... مالم تكونوا تعلمون) yaitu ketika Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa memelihara semua salat dan menjalankan ketentuan-ketentuannya serta memberikan penekanan padanya, Dia menyebutkan keadaan di mana seseorang tidak dapat mengerjakan salat secara benar dan sempurna, yaitu dalam keadaan perang dan pertempuran sengit. Dia berfirman (فإن خفتم فرجالا أو ركبانا) maksudnya, kerjakan salat dalam keadaan bagaimanapun juga, dalam keadaan berjalan maupun naik kendaraan, baik menghadap kiblat maupun membelakanginya. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik, dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai salat khauf, maka ia menggambarkannya dan kemudian berkata: “Jika rasa takut lebih mencekam daripada itu, mereka mengerjakan salat sambil berjalan kaki atau menaiki kendaraan, dengan menghadap kiblat ataupun tidak.”
Nafi’ mengatakan, aku tidak mengetahui Ibnu Umar menyebutkan hal itu melainkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadis tersebut juga diriwayatkan Imam Al-Bukhari, dan lafaz di atas adalah dari Imam Muslim. Selain itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan hal yang sama atau yang mendekati hal itu, dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sedangkan menurut riwayat Imam Muslim, dari Ibnu Umar, ia mengatakan, “Jika rasa takut lebih mencekam daripada itu, maka salatlah dalam keadaan menaiki kendaraan atau berdiri dengan menggunakan isyarat.” Dan dalam hadis Abdullah bin Unais Al-Juhani, disebutkan, ketika ia diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membunuh Khalid bin Sufyan, pada saat itu ia menghadap ke Arafah. Ketika ia sedang menghadap ke Arafah, datang waktu Salat Ashar. Ia mengatakan, “Aku khawatir kehabisan waktu Ashar, maka aku pun salat dengan menggunakan isyarat.” Secara lengkap, hadis ini diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad jayyid. Hal ini merupakan keringanan dari Allah Ta’ala, yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya dan Dia lepaskan semua beban dan belenggu dari diri mereka.
Mengenai apa yang telah dinashkan, Imam Ahmad berpendapat bahwa salat khauf itu kadangkala dikerjakan dengan satu rakaat saja, jika antara dua pasukan sedang bertempur sengit. Dalam keadaan seperti itulah berlaku hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Jarir, dari Abu Awanah Al-Wadhah bin Abdullah Al-Yasykuri. Imam Muslim, Nasa’i, dan Ayub bin A’idz menambahkan, keduanya dari Bakir bin Al-Akhnas Al-Kufi, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan:
فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا، وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً
Artinya: “Allah Ta’ala mewajibkan salat melalui ucapan Nabi kalian dalam keadaan normal empat raka’at, dalam perjalanan (musafir) dua rakaat, dan dalam keadaan takut (khauf) satu rakaat.” (HR. Muslim 687, Abu Dawud 1247, An-Nasai 169, 119, 3/118, 1/226, Ibnu Majah 1068, Tafsir Ath-Thabariy 5/247)
Dalam bab “Ash-Salatu ‘inda munahadhatil hushun wa liqa’il aduww“ (Salat pada saat menyerbu benteng dan bertemu musuh) Imam Al-Bukhari meriwayatkan, Al-Auza’i mengatakan:
إِنْ كَانَ تَهَيَّأَ الْفَتْحُ، وَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى الصَّلَاةِ صَلُّوا إِيمَاءً كُلُّ امْرِئٍ لِنَفْسِهِ فَإِنْ لَمْ يَقْدِرُوا عَلَى الْإِيمَاءِ أَخَّرُوا الصَّلَاةَ حَتَّى يَنْكَشِفَ الْقِتَالُ أَوْ يَأْمَنُوا فَيُصَلُّوا رَكْعَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَقْدِرُوا صَلَّوْا رَكْعَةً وَسَجْدَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَقْدِرُوا لَا يُجْزِئُهُمُ التَّكْبِيرُ وَيُؤَخِّرُونَهَا حَتَّى يَأْمَنُوا
Artinya: “Jika pertempuran sudah mulai dan mereka tidak sanggup mengerjakan salat, maka mereka mengerjakannya dengan menggunakan isyarat, masing-masing orang mengerjakannya sendiri-sendiri. Dan jika mereka tidak mampu menggunakan isyarat, mereka mengakhirkan shalat sehingga pertempuran berakhir dan keadaan tenang. Setelah itu mereka baru mengerjakan salat dua rakaat. Dan jika mereka tetap tidak mampu melakukan hal itu, maka mereka akan mengerjakan satu rakaat dan dua sujud. Dan jika tidak mampu juga, karena takbir saja tidak cukup bagi mereka, maka mereka mengakhirkannya, sampai keadaan aman.”
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Makhul. Anas bin Malik mengatakan:
حَضَرْتُ مُنَاهَضَةَ حِصْنِ تسْتَر عِنْدَ إِضَاءَةِ الْفَجْرِ، وَاشْتَدَّ اشْتِعَالُ الْقِتَالِ فَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى الصَّلَاةِ فَلَمْ نُصَلِّ إِلَّا بَعْدَ ارْتِفَاعِ النَّهَارِ فَصَلَّيْنَاهَا وَنَحْنُ مَعَ أَبِي مُوسَى فَفُتِحَ لَنَا. قَالَ أَنَسٌ: وَمَا يَسُرُّنِي بِتِلْكَ الصَّلَاةِ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
Artinya: “Aku pernah mengikuti penyerangan benteng Tustar pada saat sinar fajar muncul, dan api pertempuran semakin sengit, sedang mereka tidak dapat mengerjakan salat, dan kami pun tidak mengerjakan salat kecuali setelah siang hari. Kemudian kami segera mengerjakannya, saat itu kami bersama Abu Musa, lalu diberikan kemenangan kepada kami.” Lebih lanjut Anas bin Malik mengatakan: “Dunia dan isinya tidak menggembirakanku lebih dari salat ketika itu.” Demikian lafazh Imam Al-Bukhari.
Kemudian hal itu diperkuat dengan hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. mengakhirkan Salat Ashar sampai matahari tenggelam pada peristiwa Khandaq karena alasan perang. Juga dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang disampaikan setelah itu kepada para sahabatnya ketika mereka dipersiapkan untuk berangkat ke Bani Quraidzah:
"لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمُ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ"
Artinya: “Janganlah ada seorang pun dari kalian yang mengerjakan salat Ashar, kecuali setelah sampai di Bani Quraidzah.” (Muttafaqun `alaih).
Di antara mereka ada yang mendapati waktu Salat Ashar di jalan, lalu mereka mengerjakan salat dan berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menginginkan dari kita melainkan agar mempercepat perjalanan.” Dan di antara mereka ada juga yang mendapati waktu salat itu di tengah jalan tetapi mereka tidak mengerjakan Salat Ashar sampai matahari terbenam di Bani Quraidzah. Namun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyalahkan salah satu dari dua kelompok tersebut. Dan ini menunjukkan jatuhnya pilihan Al-Bukhari pada pendapat ini.
Sedangkan jumhur ulama berbeda pendapat dengannya, dan mereka mengemukakan alasannya bahwa salat khauf seperti yang disifatkan Al-Qur’an dalam Surah An-Nisaa’ dan juga oleh beberapa hadis itu disyari’atkan setelah terjadinya perang Khandaq. Hal ini secara jelas telah disebutkan dalam hadis Abu Said dan lainnya. Sedangkan Makhul, Al-Auza’i, dan Al-Bukhari menjawab bahwa disyariatkannya salat khauf tersebut setelah itu tidak menafikan bahwa cara seperti itu boleh. Karena hal itu merupakan keadaan khusus dan jarang terjadi, maka hal itu dibolehkan, seperti yang kami katakan. Berdasarkan apa yang dilakukan oleh para sahabat pada zaman Umar bin Al-Khaththab pada waktu pembebasan kota Tustar. Dan hal itu sangat terkenal dan tidak dipungkiri.
Firman-Nya (فإذا أمنتم فاذكروا الله) maksudnya kerjakanlah salat kalian sebagaimana telah diperintahkan kepada kalian, sempurnakanlah rukuk, sujud, berdiri, duduk dan khusyukannya.
Firman-Nya (كما علمكم مالم تكونوا تعلمون) maksudnya, sebagaimana Dia telah menganugerahkan nikmat kepada kalian, menunjukkan kalian kepada keimanan dan mengajarkan kepada kalian hal-hal yang bermanfaat bagi kalian di dunia maupun di akhirat. Maka sambutlah dengan rasa syukur dan zikir kepada-Nya sebagaimana firman-Nya setelah penyebutan salat khauf dalam Surah An-Nisaa’ ayat 103 yang artinya: “Kemudian jika kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. ”
Hadis-hadis yang berkenaan dengan salat khauf dan sifat-sifatnya akan dikemukakan selanjutnya dalam pembahasan Surah An-Nisaa’ pada penafsiran firman Allah Ta’ala di ayat 102 yang artinya: “Dan jika kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabat kamu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka.”
Komentar
Posting Komentar