BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٧٥
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Setelah Allah Ta’ala menceritakan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, mengeluarkan infak, membayar zakat, serta mengutamakan kebaikan dan sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan dan kepada kaum kerabat, yang dilakukan di setiap keadaan dan waktu, kemudian dalam ayat ini Allah Ta’ala memulai dengan menceritakan tentang orang orang yang memakan riba dari harta kekayaan orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, serta berbagai macam syubhat. Lalu Allah Ta’ala, mengibaratkan keadaan mereka pada saat bangkit dan keluar dari kubur ada hari kebangkitan.
Firman-Nya (الذين يأكلون الربا لا يقومون إلا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس) maksudnya, mereka tidak dapat berdiri dari kuburan mereka pada hari kiamat kelak kecuali seperti berdirinya orang gila pada saat mengamuk dan kerasukan setan. Yaitu mereka berdiri dengan posisi yang tidak sewajarnya. Ibnu Abbas mengatakan: “Pemakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadan gila yang tercekik.” Imam Al- Bukhari meriwayatkan dari Samurah bin Jundab, dalam hadis panjang tentang mimpi:
"فَأَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ-حَسِبْتُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: أَحْمَرُ مِثْلُ الدَّمِ -وَإِذَا فِي النَّهْرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ، [مَا يَسْبَحُ] ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ الْحِجَارَةَ عِنْدَهُ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا" وَذَكَرَ فِي تَفْسِيرِهِ: أَنَّهُ آكِلُ الرِّبَا .
Artinya: “Maka tibalah kami di sebuah sungai, aku menduga ia mengatakan, ‘Sungai itu merah semerah darah.’ Ternyata di sungai tersebut terdapat seseorang yang sedang berenang, dan di pinggirnya terdapat seseorang yang telah mengumpulkan batu yang sangat banyak di sampingnya. Orang itu pun berenang mendatangi orang yang mengumpulkan batu itu. Kemudian orang yang berenang itu membuka mulutnya, lalu ia menyuapinya dengan batu. Dan dalam menafsirkan peristiwa tersebut dikatakan bahwa ia itulah pemakan riba.” (HR. Al-Bukhari 7047)
Firman-Nya (ذلك بأنهم قالوا إنما البيع مثل الربا وأحل الله البيع وحرم الربا) maksudnya, mereka membolehkan riba dengan maksud untuk menentang hukum-hukum Allah Ta’ala yang terdapat dalam syariat-Nya. Bukan karena mereka mengqiyaskan riba dengan jual beli, sebab orang-orang musyrik tidak pernah mengakui penetapan jual beli yang telah ditetapkan Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an. Seandainya hal itu termasuk masalah qiyas, niscaya mereka akan mengatakan: “Sesungguhnya riba itu sama seperti jual beli.” Tetapi dalam hal ini mereka mengatakan, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. “Artinya, keduanya serupa, lalu mengapa Dia mengharamkan yang ini dan menghalalkan yang itu? Yang demikian itu merupakan penentangan mereka terhadap syariat. Artinya, yang ini sama dengan ini, dan Dia sendiri telah menghalalkan ini dan mengharamkan yang ini.
Firman-Nya (وأحل الله البيع وحرم الربا) hal ini mungkin merupakan bagian dari kesempurnaan kalam sebagai penolakan terhadap mereka atau terhadap apa yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui perbedaan hukum yang ditetapkan Allah Ta’ala antara keduanya. Dia Mahamengetahui lagi Mahabijaksana. Tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya dan Allah Ta’ala tidak dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah Ia kerjakan, justru merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dialah yang Mahamengetahui segala hakikat dan kemaslahatan persoalan. Apa yang bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya, maka Dia akan membolehkannya bagi mereka, dan apa yang membahayakan bagi mereka, maka Dia akan melarangnya bagi mereka. Kasih sayang Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya lebih besar daripada sayannya seorang ibu kepada anak bayinya.
Firman-Nya (فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف وأمره إلى الله) maksudnya, barangsiapa yang telah sampai kepadanya larangan memakan riba, lalu ia mengakhirinya ketika syariat sampai kepadanya, maka baginya hasil muamalah terdahulu. Yang demikian itu didasarkan pada firman-Nya dalam Surah Al-Maidah ayat 95 yang artinya: “Allah memaajkan apa yang telah berlalu. ” Dan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat pembebasan kota Makkah (bahkan pada haji Wada’):
"وَكُلُّ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمَيْ هَاتَيْنِ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَا الْعَبَّاسِ"
Artinya: “Segala bentuk riba pada masa Jahiliyah diletakkan di bawah kedua kakiku ini, dan riba yang pertama kali aku letakkan adalah riba ‘Abbas.” (Lihat kitab Taarikhul Kabir, karangan Al-Bukhari, juz I)
Firman-Nya (فله ما سلف وأمره إلى الله) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh mereka mengembalikan keuntungan yang mereka peroleh pada masa jahiliyah, tetapi Allah Ta’ala telah memaafkan mereka atas apa yang telah berlalu. Said bin Jubair dan As-Suddi mengatakan: “Baginya riba yang dahulu pernah ia makan sebelum diharamkan.” Ibnu Abi Hatim meriwayatkan: bahwa Aisyah radiallahu anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertutur:
قَالَتْ لَهَا أَمُّ مُحَبَّةَ أَمُّ وَلَدٍ لِزَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ-: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، أَتَعْرِفِينَ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَتْ: فَإِنِّي بِعْتُهُ عَبْدًا إِلَى الْعَطَاءِ بِثَمَانِمِائَةٍ، فَاحْتَاجَ إِلَى ثَمَنِهِ، فَاشْتَرَيْتُهُ قَبْلَ مَحَلِّ الْأَجَلِ بِسِتِّمِائَةٍ. فَقَالَتْ: بِئْسَ مَا شَرَيْتِ! وَبِئْسَ مَا اشْتَرَيْتِ! أَبْلِغِي زَيْدًا أَنَّهُ قَدْ أَبْطَلَ جِهَادَهُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ لَمْ يَتُبْ قَالَتْ: فَقُلْتُ: أَرَأَيْتِ إِنْ تَرَكَتُ الْمِائَتَيْنِ وَأَخَذَتُ السِّتَّمِائَةِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، {فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ}.
Artinya: “la pernah ditanya oleh Ummu Bahnah, yaitu ummu walad Zaid bin Arqam, ‘Wahai Ummul Mukminin, apakah engkau kenal Zaid bin Argam?’ ‘Ya, aku mengenalnya,’ jawab Aisyah. Ummu Bahnah mengatakan: ‘Sesungguhnya aku telah menjualkannya (untuk Zaid) seorang budak kepada Atha’ dengan harga 800 dirham (dengan tempo/utang). Lalu aku memerlukan uang, maka aku membeli kembali (budak itu) (dengan tunai) sebelum sampai waktu pembayaran (sebelum jatuh tempo) dengan harga 600 dirham (tunai).’ Aisyah pun berkata: ‘Alangkah buruknya pembelianmu, alangkah buruknya pembelianmu itu. Sampaikanlah kepada Zaid bahwa ia benar-benar telah menghapuskan pahala jihadnya bersama Rasulullah, jika ia tidak segera bertaubat.’ Ummu Bahnah melanjutkan pertanyaan: ‘Bagaimana menurut pendapatmu, jika aku meninggalkan 200 dirham dan mengambil yang 600. dirham (sebagai pembayaran hutang)?’ Aisyah menjawab: ‘Ya, boleh.’ ‘Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan), dan urusannya terserah kepada Allah.” (Atsar ini sudah sangat masyhur dan merupakan dalil bagi orang yang mengharamkan jual beli a’inah (riba terselubung) serta beberapa hadis lain yang berkaitan dengan hal itu yang telah ditetapkan dalam masalah hukum. Ummu walad adalah wanita yang melahirkan anak majikannya)
Firman-Nya (ومن عاد) maksudnya kembali mengambil riba, dan ia mengerjakannya setelah sampai kepadanya larangan tersebut, maka wajib baginya hukuman dan penegasan hujjah atasnya. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman (فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون).
Abu Daud telah meriwayatkan dari Abu Zubair, dari Jabir, ia menceritakan ketika turun ayat yang artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"مَنْ لَمْ يَذْرِ الْمُخَابَرَةَ، فَلْيَأْذَنْ بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ"
Artinya: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan mukhabarah, maka maklumatkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya.’” (HR. Abu Dawud 3406 dan Al-Hakim 2/286 dari Abu Khaitsam. Dan ia mengatakan, bahwa derajat hadis itu sahih dengan syarat Muslim, namun Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkannya)
Diharamkan “mukhabarah”, yaitu menyewakan tanah dengan imbalan sebagian hasil buminya. Demikian juga “muzabanah”, yaitu membeli kurma basah yang masih ada di pohonnya dengan pembayaran kurma kering yang sudah ada di tanah. Dan “muhagalah”, yaitu pembelian biji yang masih melekat pada tangkainya di ladang dengan biji yang sudah ada di atas tanah. Semuanya itu dan juga semua praktek yang sejenisnya diharamkan untuk merintangi jalan ke inti riba, sebab belum diketahui kesamaan dua barang sebelum keduanya kering betul. Oleh karena itu, para fuqaha mengemukakan: “Ketidaktahuan terhadap kesamaan, sama seperti hakikat kelebihan.” Dan mereka juga mengharamkan segala sesuatu yang mereka pahami, sebagai upaya untuk mempersempit jalan dan berbagai sarana yang mengantarkan kepada riba. Adapun ketidaksamaan pandangan mereka tergantung pada ilmu yang dikaruniakan Allah Ta’ala kepada mereka. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Yusuf ayat 76 yang artinya: “Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Mahamengetahui (Allah).”
Masalah riba ini merupakan masalah yang paling rumit menurut kebanyakan ulama. Amirul Mukminin, Umar bin Al-Khaththab pernah mengatakan, tiga hal yang seandainya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada kami dengan suatu wasiat yang dapat memuaskan kami yaitu dalam masalah; al-jaddu (bagian warisan kakek), al-kalalah (orang yang meninggal tidak meninggalkan ayah dan anak), dan beberapa masalah riba. Maksudnya adalah sebagian masalah yang di dalamnya terdapat percampuran riba, sedangkan syariat telah menetapkan bahwa sarana yang mengantarkan kepada yang haram itu pun haram hukumnya, karena sesuatu yang mengantarkan kepada yang haram adalah haram, sebagaimana tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu, makanya itu menjadi wajib.
Di dalam Kitab Ash-Sahihain (Al-Bukhari dan Muslim) telah ditegaskan sebuah hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir, ia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَ ذَلِكَ أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبَهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبَهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ
Artinya: “Sesungguhnya yang halal itu telah jelas, yang haram pun telah jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar (diragukan). Barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang diragukan, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam keraguan, berarti ia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah terlarang, lambat laun ia akan masuk ke dalamnya.” (HR. Al-Bukhari 52 dan Muslim 1599)
Dan di dalam kitab As-Sunan juga diriwayatkan sebuah hadis dari Al-Hasan bin Ali radiallahu anhuma, ia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"دَعْ مَا يُرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يُرِيبُكَ"
Artinya: “Tinggalkan perkara yang engkau ragukan, menuju kepada perkara yang tidak engkau ragukan.” (HR. At-Tirmidzi 2518 dan Nasai 8/327)
Dalam hadis yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
"الْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ وَتَرَدَّدَتْ فِيهِ النَّفْسُ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ". وَفِي رِوَايَةٍ: "اسْتَفْتِ قَلْبَكَ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ"
Artinya: “Dosa itu adalah sesuatu yang mengganjal di dalam hatimu, yang padanya jiwa menjadi ragu, dan engkau tidak suka bila diketahui orang lain. Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan: “Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun manusia telah memberikan fatwa kepadamu.” (HR. Imam Ahmad 4/228 dan Imam ad-Darimi dalam kitab Musnad milik masing-masing dari keduanya dengan sanad sahih atau hasan)
Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Ayat yang terakhir kali turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ayat tentang riba.” Demikian yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dari Qabishah.
Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa Umar pernah mengatakan: “Ayat yang terakhir kali turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ayat tentang riba, dan sesungguhnya beliau telah dipanggil ke hadirat-Nya sebelum beliau sempat menafsirkannya kepada kami. Oleh karena itu, tinggalkan riba dan keraguan.” Ia mengatakan bahwa hadis tersebut juga diriwayatkan Ibnu Majah dan Ibnu Mardawih. Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Abdullah bin Masud, dari Nabi, beliau bersabda:
"الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا"وَرَوَاهُ الْحَاكِمُ فِي مُسْتَدْرَكِهِ، مِنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ عَلِيٍّ الْفَلَّاسِ، بِإِسْنَادِ مِثْلِهِ، وَزَادَ: "أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ، وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ". وَقَالَ: صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، ولم يخرجاه.
Artinya: “Riba itu ada 73 (tujuh puluh tiga) macam. Hadis ini juga diriwayatkan Al-Hakim dalam kitabnya, Al-Mustadrak, dari ‘Amr bin ‘Ali al-Falas, dengan isnad yang sama, dengan tambahan lafaz: “Yang paling ringan dari riba itu seperti seseorang menikahi ibunya sendiri dan sejahat-jahat riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim. Al-Hakim mengatakan: “Hadis tersebut sahih dengan syarat Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim), namun keduanya tidak meriwayatkannya.” (HR. Ibnu Majah 2275 dan Al-Hakim 2/37)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
"يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ فِيهِ الرِّبَا" قَالَ: قِيلَ لَهُ: النَّاسُ كُلُّهُمْ؟ قَالَ: "مَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ مِنْهُمْ نَالَهُ مِنْ غُبَارِهِ"
Artinya: “Akan datang suatu masa di mana manusia banyak memakan riba.” Ditanyakan kepada Rasulullah: “Apakah manusia secara keseluruhan?” Beliau menjawab: “Yang tidak memakannya pun akan terkena debunya.” (HR. Ahmad 6/46, Abu Dawud 1131, An-Nasai 7/243 dan Ibnu Majah 2278)
Oleh karena itu, diharamkan segala sarana yang dapat menimbulkan setiap perkara yang haram. Ahmad meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Setelah ayat-ayat mengenai riba yang terdapat pada akhir Surah Al-Baqarah turun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat ke masjid, lalu beliau membacakan ayat-ayat tersebut. Selanjutnya beliau mengharamkan perdagangan khamr.” Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Jama’ah, kecuali At-Tirmidzi, melalui jalan al-A’masy. (HR. Al-Bukhari 4540/4541, Muslim 1580, Abu Dawud 3490, An-Nasai 11055, Ibnu Majah 3382 dan Ahmad 6/46,
Demikian pula redaksi dari riwayat Al-Bukhari ketika menafsirkan ayat ini, maka diharamkanlah perdagangan khamr. Dalam lafaz Al-Bukhari, yang diriwayatkan dari Aisyah radiallahu anha, ia menceritakan: “Ketika ayat-ayat yang terdapat pada akhir Surat Al-Baqarah mengenai riba, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacakannya kepada umat manusia, lalu beliau mengharamkan perdagangan khamr.”
Beberapa imam yang membicarakan hadis ini berkata, “Setelah riba dan berbagai macam sarananya diharamkan, maka khamr dan segala bentuk perdagangannya pun diharamkan,” sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis:
"لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ، حُرِّمَتْ عَلَيْهِمُ الشُّحُومُ فَجَمَّلُوهَا فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا"
Artinya: “Allah melaknat orang Yahudi yang telah diharamkan bagi mereka lemak, namun mereka mencairkannya, lalu menjualnya dan memakan hasil penjualannya.” (HR. Al-Bukhari 2223 dan Muslim 1582)
Telah dikemukakan sebelumnya pada hadis Ali, Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya dalam pelaknatan terhadap muhallil (seseorang yang berpura-pura menikahi wanita yang sudah ditalak tiga, agar bisa kembali kepada suami yang menceraikannya) pada penafsiran firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah ayat 230 yang artinya: “Sehingga ia menikah dengan suami yang lain. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
"لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ، وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ"
Artinya: “Allah melaknat orang yang memakan riba, yang mewakili transaksi riba, dua orang saksinya, dan orang yang menuliskannya.”
Mereka berpendapat: “Dan janganlah seseorang menyaksikannya dan menuliskannya kecuali jika diperlihatkan dalam bentuk akad syar’i, padahal transaksi itu sendiri batal.” Dengan demikian, yang dijadikan sandaran adalah maknanya, bukan gambaran lahiriahnya. Karena amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dalam hadis sahih telah ditegaskan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَإِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ"
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian, dan tidak juga kepada harta kekayaan kalian, melainkan la melihat kepada hati dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim 2564)
Imam Al-‘Allamah Abu ‘Abbas Ibnu Taimiyah telah menyusun sebuah kitab mengenai Ibthalut-Tahlil yang mencakup larangan menempuh berbagai sarana yang mengantarkan kepada setiap perkara yang batil. Dan pembahasan tentang hal itu sudah sangat mencukupi dan memuaskan dalam kitab tersebut.
Komentar
Posting Komentar