BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIM
لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-kitab dan Al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan) nabi itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (3: 164)
Dalam sistem penciptaan ilahi segalanya tercipta berdasarkan dan rahmatAllah.Sementarahidayahmerupakan nikmat yang diterima oleh manusia secara khusus dari Tuhan. Secara mendasar penciptaan manusia tanpa hidayah-Nya akan menyebabkan potensi menjadi sia-sia dan pemikiran dan perilaku manusia akan menyimpang. Dewasa ini kita menyaksikan mereka yang tidak memperhatikan hidayat ilahi ini melalui akal,khususnyawahyu,membuatilmu dan pengetahuan mereka menjadi kontra produktif dari apa yang dicita-citakan sebelumnya. Ilmu pengetahuan yang seharusnya menciptakan kedamaian, ternyata menjadi kekerasan yang berujung pada kecemasan.
Allah Swt menugaskan para nabi untuk membersihkan masyarakat manusia dari segala bentuk kekotoran dan mewujudkan fondasi kesempurnaan. Para nabi ini tugasnya menjelaskan kalam ilahi kepada masyarakat dan ungkapan-ungkapan bijak. Mereka diperintahkan Allah untuk membimbing akal dan fitrah manusia guna menyelamatkannya dari kebinasaan dan penyimpangan.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Pengutusan para nabi adalah hadiah terbesar Allah kepada manusia dan hendaknya kita mensyukuri nikmat ini.
2. Penyucian diri lebih utama dari belajar. Ilmu akan bermanfaat bila sumbernya suci.
3. Penyucian jiwa haruslah di bawah bimbingan para nabi dan wahyu agar tidak mengarah pada penyimpangan.
اَوَلَمَّآ اَصَابَتْكُمْ مُّصِيْبَةٌ قَدْ اَصَبْتُمْ مِّثْلَيْهَاۙ قُلْتُمْ اَنّٰى هٰذَا ۗ قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اَنْفُسِكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Ayat ke 165:
Artinya:
Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badr) kamu berkata: Dari mana datangnya (kekalahan) ini. Katakanlah: "Itu dari kesalahan dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (3: 165)
Dalam perang Uhud, ketika 70 orang muslim terbunuh dan kalah, Rasul ditanya,"Mengapa kita kalah? Allah Swt menyatakan kepada mereka, tahun lalu kalian menang dalam perang Badr, padahal musuh dua kali lebih besar dari kali ini. Pada waktu itu kalian menewaskan 70 orang dan menawan 70 lainnya. Kekalahan diperangUhuddikarenakanketidaktaatandanperpecahan di antara kalian sendiri. Jangan berpikir bahwa Tuhan tidak mampu menolong kalian. Dia mampu melakukan segala sesuatu. Namun pertolongannya bersyaratpadaketaatan kalian kepada Nabi dan bukannya melanggar perintah Tuhan. Bila kalian telah mengamalkan syarat ini baru bisa mengharapkan kemenangan.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Saat menghakimi satu masalah harus bersikap obyektif. Jangan hanya melihat kekalahan Uhud, tapi juga melihat kemenangan di Badr.
2. Mengevaluasi kekalahah, maka hal pertama yang harus dilihat adalah faktor internalnya atau harus instropeksi diri. Jangan hanya melihat pihak lain sebagai penyebab, tapi lebih penting dari itu melihat kelemahan sendiri dan menutupinya.
وَمَآ اَصَابَكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِ فَبِاِذْنِ اللّٰهِ وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِيْنَۙ
Ayat ke 166
Artinya:
Dan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah, dan agar Allah, mengetahui siapa orang-orang yang beriman. (3: 166)
وَلِيَعْلَمَ الَّذِيْنَ نَافَقُوْا ۖوَقِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَوِ ادْفَعُوْا ۗ قَالُوْا لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَّاتَّبَعْنٰكُمْ ۗ هُمْ لِلْكُفْرِ يَوْمَىِٕذٍ اَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلْاِيْمَانِ ۚ يَقُوْلُوْنَ بِاَفْوَاهِهِمْ مَّا لَيْسَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ ۗ وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُوْنَۚ
Ayat 167
Artinya:
Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang munafik. Kepada mereka dikatakan; "Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)?" Mereka berkata: "Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu." Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. (3: 167)
Telah disebutkan sebelumnya bahwa ketika sampai berita rencana serangan orang-orang Musyrik Mekah, Rasul menggelar musyawarah di masjid dan memutuskan untuk mengikuti suaraterbanyak. Pada awalnya ada yang mengajukan pendapat agar Muslimin keluar dari kota dan bertempat di kaki Gunung Uhud. Namun beberapa pembesar Madinah berkeyakinan bahwa harus menetap di kota dan menjadikan rumah masing-masing sebagai benteng melawan musuh. Rasul menyetujui pendapat pertama yang disuarakan oleh anak-anak muda dan juga suara mayoritas. Hal ini membuat sebagian tokoh tidak puas dan ketika pasukan tengah bergerak ke Uhud, sebagian dari mereka mencari-cari alasan untuk kembali ke Madinah. Akhirnya mereka kembali ke Madinah yang berdampak pada agak melemahnya semangat sebagian pejuang Muslim.
Al-Quran menyatakan kepada Mukminin, meskipun perang Uhud sangat pahit, namunberhasil memunculkan siapa saja dari umat Islam yang sejati berusaha membela Islam. Dengan demikian, semakin jelas siapa yang mukmin sejati dan mereka yang hanya ikut-ikutan. Perang Uhud membuat siapa saja yang membacara sejarahnya berhasil memilah siapa saja dari sahabat Nabi yang setia dengan cita-cita dan risalah beliau.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Peristiwa pahit manis kehidupan merupakan lapangan ujian Tuhan untuk mengenali manusia. Kita harus berhati-hati agar tidak termasuk yang tidak lulus ujian.
2. Kemunafikan menyeret manusia kepada kekufuran dan ingkar. Bersikap jujur merupakan kunci kemenangan.
3. Mempertahankan jiwa dan tanah air merupakan satu nilai dan barang siapa yang terbunuh di jalan ini dihitung syahid.
اَلَّذِيْنَ قَالُوْا لِاِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوْا لَوْ اَطَاعُوْنَا مَا قُتِلُوْا ۗ قُلْ فَادْرَءُوْا عَنْ اَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
Ayat ke 168
Artinya:
Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh." Katakanlah: "Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar." (3: 168)
Mereka yang berkhianat sebelum perang Uhud berlangsung telah menciptakan perpecahan dan melemahkan semangat sebagian umat Islam. Pasca perang Uhud, mereka tetap melakukan propaganda dan menyalahkan orang-orang yang pergi berperang ke luar kota Madinah. Karena sejak awal mereka berpendapat untuk tetap tinggal di Madinah dan menjadikan rumah-rumah penduduk sebagai benteng pertahanan. Mereka justru menyalahkan siapa yang terbunuh di perang Uhud. Padahal kematian tidak terbatas hanya di medan tempur. Karena tidak ada yang dapat lari dari kematian.
Oleh karenanya, kepada mereka Allah Swt berfirman, "Janganlah kalian pikir, dengan lari dari perang, kalian dapat lari dari cengkeram kematian. Kematian adalah bagi semua, namun beruntung bagi orang-orang yang mati dalam keadaan melaksanakan perintah Tuhan dan celaka orang yang menemui kematian saat mereka berusaha lari darinya."
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Tinggal di rumah saat musuh menyerang sangat membahayakan Islam dan menjadi tanda nifak.
2. Strategi orang-orang Munafik adalah melemahkan keluarga syahid dan pejuang yang terluka.
3. Orang-orang Munafik melihat diri mereka lebih mulia dari yang lain dan berharap orang lain mengikuti pikiran dan akidah mereka.
Komentar
Posting Komentar